Monday, January 28, 2008

susu kok pakek teh

One day at the messy, shipwrecked kitchen where all Mom’s great cookings come from…
Gw: Mah! Punya susu gak? Buat dibawa ke Jogja…
Nyokap: Ada tuh. Ada Calcimex, Produgen ama Anlene. Yang mana?
Gw: [Celingak-celinguk memastikan gw masih ada di dapur, bukan di Makro] Mana aja, sok atuh Mah. Yang penting susu.
Nyokap: Tapi itu yang Gold semua, buat 50 tahun ke atas.
Gw: Gak papa, yang penting gratis.


Begitulah akhirnya gw bawa satu box Calcimex putih. Paling seru dinikmati anget-anget, pagi-pagi mo sebelum berangkat ke kantor. Solely dissolved with water, bisa juga buat campuran makan gandum rasa tembok. Atau, yang paling seru, having a tumblerful of cold Calcimex + Ovaltine shake after hitting the gym.

Then, beberapa hari kemudian nyokap nelepon ‘Itu Calcimexnya jangan diminum lagi! Soalnya katanya bahaya kalo masih muda minum yang Gold’ . Hmm.. Seingat gw nyokap buta internet, kok dia bisa kemakan hoax? 600 mg of calcium daily won’t harm you, Sebagai gantinya, nyokap titipin lewat adek gw satu box Hi Lo Active. Gw tengok kardusnya. Hi Calcium, Low Fat. Baguslah, Nyokap ternyata prihatin dengan my gaining weight akhir-akhir ini. Varian Active (19-50 tahun), berarti lebih age-appropriate buat gw. Tiba-tiba gw terperanjat melihat tulisan di tengah kotak. Rasa Green Tea! Ingatan langsung melayang pada TVC Dancow beberapa tahun lalu, versi cewek Jawa vs cowok Sunda.
Cowok: ‘Ini teh susu!’
Cewek: 'Susu kok pakek teh?’

Oke. Di situs-situs review kuliner terjadi pros and cons mengenai Starbuck’s Green Tea Latte. Ada yang bilang aneh, gak jelas, bikin muntah, meskipun sebagian bilang enak-enak aja. Susu green tea berarti kayak Green Tea Latte minus espresso. Dalam kasus Hi Lo Green Tea ini, satu reviewer bilang rasanya bikin bingung. Akhirnya di satu kesempatan sarapan gw beranikan diri cobain minuman mencurigakan ini.

Jreng. Warnanya ijo. Gak sehijau magic potions of the fairy tales, lamat-lamat aja lah ijonya. Kuberanikan diri untuk meminumnya, tapi mengapa bibirku tak dapa bergerak, terasa berat. Ah, cuek. Glek saja!

Kejutan! Rasanya tidak semembahayakan bentuknya. Wangi teh gak begitu kuat berasa, secara ketutup ama manisnya. Meluncur cukup mulus di mulut. Usut punya usut, kata FAQs di situsnya, ‘Rasa manis Hi Lo berasal dari Gula Tropicana Slim yang aman bagi penderita diabetes, dan terbukti secara klinis memiliki Indeks Glikemiks Rendah’. Oke lah, rendah kalori sih rendah kalori, tapi too much of something might kill you, dan tampang gw kan emang udah manis. Jangan ditambah manis lagi dong… Buat akalin manisnya yang keterlaluan, gw sering campurin pake Calcimex lagi.

Ini susu memang sensasional. Selain TVCnya lucu-lucu, ternyata pernah bikin geger gara-gara [versi Hi Lo Goldnya] pernah ditarik dari peredaran! Katanya, selain masalah haram-halalnya, kandungan Glucosamine dan Chondroitinnya udah masuk dosis obat dan harus dibeli pake resep. Bahkan pernah ada pernyataan Depkes untuk menghentikan perederan Hi Lo Gold. Tapi sekarang kayaknya masih bertebaran aja di mana-mana, soalnya udah ada bantahan dari Nutrifood. Tapi setau gw, dosisnya jauh dari dosis terapetik.

Ada satu lagi kejadian yang bikin gw terperanjat. Kali ini sampe kejang umum tonik-klonik di Mirota Kampus. Di rak susu saya ngeliat varian terbaru mereka: Hi Lo Soleha. Udah nyaingin sinetron RCTI aja! Gw bayangin kalo gw minum susu ini, gw akan sakit perut. Besoknya, gw mengalami mens pertama. Besoknya, bulu-bulu dan cambang gw rontok. Besoknya, tumbuh jilbab dari kepala gw. [Hehe, no offense nih…] Jangan-jangan si Maria Ozawa minum Hi Lo Soleha juga. Secara dia berubah dari ini:



Jadi ini:



Aneh-aneh aja tim kreatif Nutrifood. Masih menurut situsnya, susu ini diperuntukkan wanita berbusana muslim, ‘Karena wanita berbusana muslim tidak mendapatkan sinar matahari secara langsung. Oleh sebab itu, wanita berbusana muslim memerlukan asupan vitamin D lebih tinggi. Kening gw terkernyit sampe ubun-ubun. Darimana mereka dapet ide ini? Ada risetnya gitu? Kalo buat gw kok gak-penting-deh-beib gitu. Sama gak pentingnya ama iklan SMS ramalan Deddy Corbuzier yang berdasarkan nama dan nomor telepon. Plis deh, Deddy itu mentalist, bukan cenayang.

Ah sudahlah. Besok lagi gak usah aneh-aneh. Untuk urusan susu, gw tetep paling suka yang putih-putih. Tapi kalo untuk yang ini, coklat juga boleh:

Wednesday, January 16, 2008

Silet Lidah

Banyak hal di dunia ini yang tidak akan berubah. Salah satunya mungkin hobi temen gw yang 30 kg lebih berat dari gw. Hobi pamer kok gak berubah-berubah… Payah.

Gw juga mau pamer! Pengen pamer Gwen si Laptop! Memangnya cuma situ yang laptopnya putih! Tapi males ah... Secara, Gwen kan putihnya polesan Mas-Mas Tukang Stiker, bukan putih asli alami. Sebagai gantinya, ah… ini aja! Tadaaaaa……





Berbagai bencana terjadi pada mata indah saya yang patut dibanggakan. Pertama, soplens gw mencelat di Flores, yang bikin gw melewatkan banyak pemandangan ajib.
Kedua, giliran dipasang soplens, malah kena konjungtivitis. Terpaksa, beli kacamata. Dan beginilah penampilan baru [tapi lama] saya. Eits, jangan bilang saya mirip Indra Herlambang! Amit-amit. Saya maunya dibilang mirip yang ini:



Yah… Biarpun gantengan gw ke mana-mana, Irwan Ardian termasuk lelaki beruntung. Tidak semua pria bisa berada dalam posisi seperti ini:



Nah, mudah-mudahan gw bisa seberuntung Irwan. Ganteng enggak, sex appealnya gak nonjol, tapi berhak mengendalikan 6 wanita cantik. 5 ding, Bu Ratna gak cantik-cantik amat hehe. 6 kali seminggu, Bos! Mau dong… [Membayangkan diri gw meniup sempritan dan memberi Jupe kartu kuning]

Hmm… Mungkin gw bisa mulai tawarin acara gw sendiri ke produser-produser. Siapa tau ada yang berminat, dan bertambah lagi jajaran dokter yang nyambi jadi artis. Acara yang gw tawarkan adalah: Silet Lidah. Khusus bagi penderita S&M, dan didampingi pskiatris setiap episodenya. Sepertinya lucu….

a masochist survivor

Minggu kemarin gw kembali mengukuhkan posisi gw sebagai Pembaca Bacaan Bermutu dengan menyewa [tanpa pernah membeli] Rolling Stone Indonesia. Kali ini, edisi akhir tahun yang tampak collectible dan legendaris dengan sampul 3 dimensinya. Mengakhiri 2007, RSI melakukan proyek besar-besaran: mereview album-album Indonesia dari jaman nyokap gw baru bisa baca, sampai hari ini di mana cucu nyokap gw mulai belajar baca [Heh!? Cucu yang mana?]. Setelah melakukan what they call penjelajahan musikal dengan memutar ratusan piringan hitam, kaset dan CD yang entah dari ujung bumi mana mereka dapat, mereka berhasil mengumumkan: 150 album Indonesia terbaik SEPANJANG MASA. Tentu, banyak artis yang gw cuma-tahu-nama doang, ato bahkan gak pernah denger sama sekali. Gak pernah tau kan lo, jaman dulu ada grup musik bernama Gumarang, Dara Puspita, atau Noor Bersaudara?

Di posisi 4, duduk Koes Plus dengan album Dheg Dheg Plas (1969), dengan salah satu hitsnya, Derita. As a so-called anak sekarang [uhuy], gw malah lebih kenal versi barunya dari album Indonesian Idol 3, di mana Depe gave her own rendition, with a vocal that is of a different league with the other finalists. Sayang, dia pertama keluar. Dan setelah menjalani kehidupan layaknya memerankan sebuah sinetron stripping di akhir 2007, sepertinya Derita bisa jadi sontrek hidup saya di awal 2008. Baru beberapa hari, gw kembali kehilangan.

Sekitar tiga bulan lalu, kantor gw kedatangan 4 ‘anak baru’, yang menurut gw lebih tepat dibilang ‘korban baru’. Setelah rangkaian proses seleksi yang sama ketatnya dengan audisi Indonesian Idol [cuih], mereka berhak bergabung dan menambahkan ‘asisten konsultan’ di kolom Occupation profil Friendster mereka. Nyeburlah mereka ke kolam hiu, nemenin gw.

Posttraumatic stress disorder sepeninggal Mantan Bos Cewek lambat laun mereda setelah kehadiran mereka. Yah, setidaknya ada temen buat makan di Kantin IKM. Kami menjalani banyak hal sama-sama. Lembur bareng. Bolos bareng. Ngegosip di YM bareng. Main sinetron Kejamnya Dunia bareng. Bahkan, sama-sama dihukum berdiri satu kaki sambil telanjang di parkiran baru. Intinya, you jump I jump, you ugly I pretty.

Setelah one million liter of tears yang bikin kami kena Dry Eye Syndrome, teori Darwin takes its toll. Seleksi alam terjadi di kantor gw. Satu persatu makhluk lemah berguguran, dan meninggalkan yang kuat untuk bertahan. Awal tahun ini, bukan cuma satu, dua atau tiga orang yang pergi. Keempat-empatnya cabut berurutan. Bagusssss…. Akhirnya salib ini memang harus gw pikul sendiri. Ah sudahlah, ini tribute buat kalian. Asisten, asisten, lama sabakhtani…..

Valianti
Kalo saja dia adalah boneka kayu Geppetto, idungnya sekarang sudah bisa dipake menjemur sarung bantal. Panjang! Wong kerjaannya boong terus. Gadis Grabag ini paling hobi memberikan dirinya sendiri nama panggilan. Mulai dari Melissa Chikita a.k.a Mel-C, hingga Luna Valianti Maya. Bukan hanya itu, sebuah slogan arogan pun dia ciptakan: “Valianti yang cantik, apikan, sabar dan suka menabung. Ojo nesu, Mas! Hehehe’. Duh, serasa menghadapi pasien dengan waham kecantikan di Bangsal Jiwa Sardjito. Yang jelas, nasib Putri Chikita sudah berubah. Menuruti nasehat orang tuanya, dia mencoba mengadu nasib di Cikarang. Lagian, kan bisa lebih deket sama Sang Pujaan Hati. Pergilah Nak, doaku besertamu.
Note: farewell party sudah dilaksanakan di Waroeng Steak Jakal.

Flandiana
Sehari sebelum Flandi mulai kerja di kantor gw….
Bos: ‘Si Fladil… Eh, Flandi itu punya laptop, Shak?’
Shak: ‘Ada kayaknya.’
Bos: ‘Metodologi penelitiannya bagus gak?’
Shak: ‘Gak tau, Pak’ [yang gw tau, anjing-anjingnya yang bagus]
Bos: ‘Lho gimana kamu, katanya temen deket?
Shak: ‘Saya gak pernah penelitian bareng’
Bos: ‘……..’
Singkat kata, ditelponlah dia untuk dateng ke kantor, ngobrol sebentar, dan besoknya dia mulai kerja jam 8 sampe 4 sore. Duh, lucu sekali cara rekrutmen tenaga kerja jaman sekarang. Hehe.
Si newly-wed ini cabut dari kantor karena merasa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Setidaknya lebih ‘aman’ dan damai. Ibaratnya, kalo tadinya dia main sinetron Kejamnya Dunia [sebagai ibu tiri?], sekarang dia jadi host Wisata Kuliner. Mak nyus buat dia, mak nyos buat saya. Asem. Setelah berkorban menyanyikan lagu Christian Bautinja di pernikahanmu, ini yang kau berikan sebagai balasan untukku? Kau tega. Ah, tapi sudahlah. Rhoma Irama terus bergitar, dunia terus berputar. Semoga bahagia selalu kau di sana.

Arum
Biar kecil, dia lebih tua dari gw [Haha, jujur sekali gw]. Sama dengan Flandi, dia memilih kerja di Pusat Pemerintahan FK UGM. Sudah pasti, supaya makin dekat dengan ibunya. Ow… So sweet buat dia, so bad buat saya. Menyebalkan. Tapi gw maapin, secara ferwel parti [bareng Flandi] sudah terlaksana dengan sukses di Food Fest Jakal. Selamat bekerja, Nak, penuh semangat. Rajinlah selalu tentu kau dapat.

Lize
Alasannya meninggalkan kantor paling bisa diterima dibandingkan yang lain. Karena suatu alasan medis, Lize gak boleh terlalu capek dan gak bisa kerja 8-4 tiap hari. Demi si kecil yang dikandungnya, gw harus merelakan dia pergi. Gw kan pro-life, bukan pro-choice [halah]. Ringankanlah langkahmu [tiru-tiru Bos], asal jangan lupa ferwel partinya.

Pada akhirnya, I’m back to Square 1. Sendiri lagi, seperti dahulu, tanpa dirimu di sisiku [set Poppy Mercury mode: on]. Kalo ini adalah Survivor, saya pemenangnya. I am the Sole Survivor. Tapi kalo saya betah lama-lama di sini, berarti saya seorang masochist. Seseorang, keluarkan saya dari sini!!!!

Tuesday, January 08, 2008

Diampuni dengan darah gw

Besok paginya, gw bangun dan kaget mendapati kassa yang menutup luka gw udah penuh dirembesin darah. Oh. Tidak. Sepertinya seseorang harus dijahit untuk pertama kali dalam hidupnya.

Hari mulai siang. Satu-satu temen gw mulai pulang, meninggalkan gw dan Penguin yang terkurung seharian karena gak ada kendaraan buat kemana-mana. Dan dompet kami berdua hampir kosong. Ya udah, tidur-tiduran aja sampai bala bantuan datang dan bisa anter gw ke Rumah Sakit ato Puskesmas. Gw telponin Puskesmas dan RS terdekat, kira-kira bisa ga tanganin gw. Apalagi ini hari libur. Untungnya, Rumah Sakit Bersalin Sakina Idaman menyatakan siap terima gw. Oke, siapin tempat ya Bu, artise meh teka.

Akhirnya, Kakak Penguin dan Calon Kakak Ipar Penguin dateng hampir jam 11 siang. Calon Kakak Ipar Penguin anter gw ke ATM, trus ke Sakina Idaman. RSnya lumayan sepi, secara mungkin ibu-ibu lebih milih seneng-seneng taun baruan daripada ngeden-ngeden melahirkan. Gw musti tunggu di Ruang Periksa sampe dokternya dateng. Ya, gw tiduran di tempat tidur Ob-Gyn, lengkap dengan penyangga tungkai kalo mo posisi litotomi. Tapi gw terlalu capek untuk iseng coba-coba naikin kaki hehe.

Akhirnya si dokter, yang tenyata nyokap adik kelas gw, dateng. Dan setelah sekian kali berperan sebagai penjahit, untuk pertama kali gw harus berada di posisi yang lain. Kulit betis gw bakal dijahit.

Segalanya dilakukan sangat prosedural, mungkin karena gw udah bilang duluan kalo gw dokter. Mereka bersihin luka gw pake Rivanol, Betadine, trus tutup pake duk steril. Baru deh, mereka suntikin lidokain buat anesetesi lokal. Asem, lara! Tapi gak papa, daripada gw dijahit tanpa dibius, niat golek celaka. Gak lama kemudian, kulit mulai kebas. Tungkai kiri gw yang mulus tapi berbulu itu jadi serasa setebal kulit gajah. Dan si dokter mulai main jahit-jahitan di kaki gw.

Gw ga bisa ngeliat jelas apa yang terjadi, wong ketutupan dokter dan perawatnya. Tidak ada juga kameramen yang berdiri mengabadikan peristiwa langka ini. Tau-tau aja udah ada dua jahitan di tungkai gw, dan luka siap ditutup. Setelah mengaplikasikan salep antibiotik, luka mulai ditutup berturut-turut dengan Sufra Tulle, kassa plus Betadine, kassa kering dan Hypafix. Cantix.

Ada untungnya jadi dokter. Dengan sedkit basa-basi sambil bilang ke si dokter kalo anaknya adalah adik kelas gw dari SMU, dia gak bebanin biaya jasa dokter ke gw. Cuma biaya sarana dan prasarana. Lumayan, hemat 30 ribu. Akhirnya, dengan 45 ribu gw bisa pulang dengan luka yang sudah tertutup, tanpa ceceran darah lagi.

Nyampe rumah, gak lama kemudian Kakak dan Calon Kakak Ipar Penguin pulang. Meninggalkan kami berdua yang belum makan. Ya wis, bikin mi instan seadanya pake telor dan sosis [berarti gak seadanya, ya?]. Tidur siang, sampai akhirnya rekan-rekan dari Klinik Siloam tengokin gw. Lumayan,jadi ngerasa penting, ditengokin banyak orang. Sayang, pada gak bawa oleh-oleh. Hehe.

Tambah sore, rumah dipenuhi orang-orang yang menyayangi dan perhatikan gw [uhuy]. Ada sepupu gw ama suami dan anaknya. Bajuri dan Lusi. Upik Babu dan Om Anton. Tangta. Dan bonyok gw yang dateng buat bantuin anaknya bernegosiasi. Tepatnya, mewakili anaknya bernegosiasi, secara gw udah eneg. Toh kesepakatan tidak akan berubah, karena mereka terlanjur memegang kata-kata gw semalem. Stupid me. Mestinya mereka mabuk semabuk-mabuknya biar lupa kata-kata gw semalem. Hehe. Akhirnya disepakati bahwa perbaikan motor akan dimulai besok pagi jam 8. Gw bersorak, karena gw jadi punya alasan buat dateng telat ke kantor hehe.

Besoknya, dasar pengangguran, mereka baru ke tempat gw jam 9 dan membuat bokap mencak-mencak. ’Emangnya kerjaanku cuma urusin ini’. Setelah mereka dateng, dimulailah berbagai macam proses kompleks yang gw gak ngerti. Pertama, motor mereka dibawa pake mobil bak ke bengkel press body. Bapak-bapak bengkel beraksi layaknya dokter spesialis, mencari tau apa saja yang salah dan harus diobati. Yang jelas, velg-ruji-ban dalam roda depan Karisma mereka harus diganti. That costs 80.000. Biaya pasang velg dan lurusin stang, 150 ribu. Ganti kom setir [apapun itu], 150 ribu. Bah. Di bengkel ini gw udah harus bayar 380 ribu. Bisa dapet dua pasang Van’s Slip On plus dua kaos polo di Green Outlet. Selesai? Belum!! Lepas dari situ, motor diangkut ke bengkel deket rumah gw buat perawatan selanjutnya.

Di bengkel kedua, tempat Shogun gw dirawat juga, gw masih harus bayar lagi. 35 ribu buat kap lampu yang pecah terburai-burai. Biaya pasang kap lampu plus solder tedeng yang ancur lebur ajur, 33 ribu. Gw masih heran aja ama yang belakangan ini. Gw yakin banget itu tedeng pecah entah jadi berapa bagian, dan seperti disulap dengan Harry Potter’s wand, udah nempel aja jadi satu. Diliat, diraba dan diterawang dari deket baru keliatan kalo tempelan. Ajaib, ni. Total biaya di bengkel kedua ini, 68 ribu. Sementara, biaya beresin motor gw cuma 63 ribu, plus 78 ribu buat ganti blok mesin.

Pas bayar motor dia sekalian ngambil motor gw, Pak Bengkelnya bilang,’Ini tadi yang punya Karisma ke sini, tapi pergi lagi. Coba cari di rumahnya aja, di situ’. Ya wis, gw coba ke rumahnya. Pencet bel dan nunggu lumayan lama sampe akhirnya dibukain ama ibu-ibu tua dengan kepala berbalut handuk abis keramas, yang I thought to be his mother. Karena si bocah gak ada, gw malah diinterogasi si Nyokap, yang ujung-ujungnya malah jadi sesi curhat a worried mother. Katanya dua hari ini anaknya pulang cuma tidur bentar dan minta duit. Dia ungkapin semua, gimana anaknya yang tadinya baik-baik jadi gak beres gara-gara pergaulan. Kuliahnya di MSD berantakan, kerjaannya maen gak jelas, dan cuma minta duit ibunya mulu. Sekedar info, [alm.] bokapnya adalah dokter senior, DTMH, dan pernah jadi Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Magelang selama 8 tahun. Duh. What a wasted life. Semua karena lingkungan yang salah. Nih, gw kasi tau. Lu gaul ama tukang parfum refill, lu jadi wangi, man. Lu gaul ama tukang jual ikan asin, lu bau ikan asin. Lu gaul ama gw, lu ketularan jadi artis.

Percakapan ditutup dengan ucapan terima kasih dan minta maaf nyokapnya, plus tawaran buku-buku kedokteran. In case gw perlu. Gak deh bu, lain kali aja. Thanks anyway.Gw pulang, dan mandi. Abis mandi, pintu rumah gw diketok. Ternyata, yang punya motor dan satu temennya. Heran aja gw, si anak yang nabrak motor malah gak ikut. Mereka duduk di ruang tamu gw ga nyampe dua menit. Intinya, cuma bilang kalo urusan udah selesai, minta maaf dan terima kasih. Udah, dan mereka buru-buru pulang. Mungkin takut kalo gw berubah pikiran dan minta mereka ganti rugi lagi. Tapi enggak kok, udah gw pasrah aja. Gw lepas kepergian mereka dengan hati dan senyum tulus. Jarang-jarang lho Mas, dapet senyum bintang iklan Close Up.

Ah sudahlah. Biar berakhir semua ini.Mari kita recap sama-sama, what the whole incident cost me.
1. Rencana mengakhiri tahun dengan indah, gagal.
2. Dipukulin tanpa sebab yang jelas. Biar pake helm, besoknya nyut-nyutan juga.
3. Dua jahitan di tungkai bawah kiri, 45 ribu rupiah. Plus, lecet-lecet di lengan dan punggung. Gara-gara pake perban, gw harus angkat kaki dan tangan selama mandi. Seolah Panji Pragiwaksono ada didepan gw, dan gw adalah peserta Hole in the Wall.
4. Biaya ongkos bagusin motor dia di dua bengkel, 383 + 68 ribu = 451 ribu. Catat, biaya perbaikan motor gw cuma sepertiganya.
5. Van’s Slip On putih cantik gw, yang ga bangga-banggain karena susah dapetnya, jadi merah putih bersimbah darah, kaya kostum kanaval 17an. Robek dan lecet lagi. Untunglah, setelah langsung dicuci dan sedikit sentuhan Pak Tukang Sepatu Depan Mirota, bisa dipake lagi meskipun gak sempurna. Tapi gw gak bakal beli lagi. Pertama, masih bisa dipake. Kedua, bisa digorok Penguin dan Nyokap. Ketiga, biar gw inget ’nothing lasts forever’. Huhu.. Why do all good things come to an end?
6. Dan, yang paling berat buat gw bayar: pengampunan. Gw jadi tau kenapa Rudi Sudjarwo dan Monty Tiwa begitu mengagung-agungkan kata ini di 9 Naga. Demi darah merah gw yang tercurah di atas sepatu putih, dosa mereka diampuni. Hehe, memangnya gw Juru Selamat. Tapi bener, tidak mudah untuk tetep tersenyum setelah semua ini.

It was not a sort of good way of starting a new year. But it was the way 2008 started, and we all don’t know what’s ahead. One thing I know, whatever may come I dont give a damn, but I’ll try to be a good boy. At least I want to try to be one. Yang penting niatnya dulu lah, hehe.

Cukup mengejutkan gw bisa tidur pules

Buat gw, dua bulan terakhir di 2007 berlalu seolah dikendalikan Lemony Snicket, yang menuliskan serangkaian kejadian malang. Berawal dari rewelnya Gwen si Laptop yang bikin gw menghabiskan gaji sebulan [tombok, malah] untuk menebusnya di Computa. Dilanjutkan dengan berbagai peristiwa mengoyak hati yang mengisi sebagian besar jurnal perjalanan gw di Flores yang sepanjang 14 halaman kuarto dengan font Arial 10 dan spasi 1. Gw capek menderita. Maka kukatakan dengan indah, bahwa tahun ini ingin gw akhiri dengan indah.

Pulang dari Flores, gw tolak rayuan Bos utuk bekerja selama libur Natal dengan mengatakan mentah-mentah di mukanya, ’Tidak’. Liburan diawali dengan reuni manis 4 orang dokter plus 1 fotografer berotak mesum di Food Fest Jakal dan Kedai Tiga Nyonya Jalan Sudirman. Rencana ruwatan ditunda dulu, secara gw juga bingung musti ngapain. Percayalah, gw belum jadi mandi susu. Kasian sapinya, diperes-peres cuma buat mandi.

Kemudian, layaknya roller coaster, hidup gw kembali ada di bawah. Rencana pulang ke Kandang Pawang terganggu dengan insiden kecil: konjungtivitis di mata kanan yang membuat gw harus menanggalkan lensa kontak selama beberapa hari. Akibatnya, selain harus bayar 50 ribu buat obat, gw harus beli kacamata hari itu juga. Atau terancam batal liburan di kampung. Beruntung, di toko pertama yang gw kunjungi hari itu gw langsung ketemu kacamata yang cocok. Cocok model dan harganya. Padahal sebelum ke Flores gw udah keliling toko optik se-Jogja bersama Penguin, dan pulang tanpa hasil.

Beres urusan mata, gw nikmati Christmas Eve sendiri di Jogja, dan baru pulang besok paginya. Sekotak Dunkin Donut dibawa buat penuhin kulkas di rumah. Nyampe rumah, tidak banyak yang bisa gw lakuin. Makan, tidur, ke gereja, makan lagi, telpon Penguin, tidur lagi. Besoknya juga hampir sama, dan sorenya gw udah balik lagi ke Jogja, secara tanggal 27 udah harus ngantor.

Kantor masih sepi, secara beberapa anggota tim masih ambil libur. Tau gitu gw perpanjang libur juga. Kerja di kantor maupun di klinik biasa aja. Sore dan malam diisi dengan kumpul ama Beruang Kutub yang baru kehilangan 10 kg perutnya di Adonara. Untuk membantu mengembalikan 10 kg, disusunlah acara Malam Taun Baru dengan agenda utama makan dan minum moke.

Seperti taun lalu, rumah gw dipilih jadi venue. Alasannya jelas: tidak ada orang tua. GW pun kerja keras siapin semuanya. Bebenah rumah, siapin snack, beli bahan-bahan buat ngoplos moke, sampai beli Rica B2 dan Cap Jay. Tahun ini kami gak masak sendiri.

Semua persiapan beres, satu persatu temen dateng. Sayang, Maktius Indarto lebih memilih private party ama temen-temen binalnya, dan Ratu Kirik tidak berhasil juga dihubungi. Mungkin lagi bikin resolusi taun baru ama kirik-kiriknya. Malam menghangat, rumah gw makin rame. Biar makin seru, gw bikin punch simpel dengan campurin moke dan Fanta Ijo. Rasanya lumayan seru, dan segera memunculkan efek kepala berat pada Bajuri. Everything felt great, we were as happy as can be.

Mendekati pergantian tahun, Upik Babu merengek-rengek minta nonton kembang api di Tugu. Katanya, mumpung Om Anton belum balik ke Flores. Halah, bilang aja mo kecengin bronding, Pik. Meski awalnya sebagian besar gak setuju, toh akhirnya kami berangkat juga.

Jalanan rame banget, lebih rame dari tahun kemarin. Saking ramenya, kami saling kehilangan jejak dan akhirnya kepisah satu sama lain. Gw dan Penguin sempet keliling ke Diponegoro dan Mangkubumi, sebelum akhirnya memutuskan pulang secara gw yang bawa kunci rumah.

Jalan Magelang masih diramaikan Orkes Melayu Entah-Apa-Gw-Gak-Peduli. Bunyi terompet di sana-sini. Just another New Year’s Eve. Sampai di km 4,3 gw berhenti di tengah jalan. Nyalain lampu belok, tengok kiri kanan dan cari waktu yang tepat buat belok. Secara udah yakin, beloklah gw. Tinggal 2 meter dari pintu gang, saat tiba-tiba dari utara meluncur motor dengan kecepatan tinggi, menghunjam tepat sisi kiri motor gw. Dan semuanya berjalan dalam gerak lambat. Belum juga gw berdiri, tau-tau kedengeran suara gabruk dari belakang kiri dan gw ambruk lagi. Kemudian gabruk lagi dari belakang kanan, dan kedengeran suara Penguin ’Mas! Wis to Mas, ditulungi sik!’ Duh, gw dipukuli layaknya Maling Ayam Pemerkosa Kembang Desa. Untung helm gw gak lepas, dan untunglah mereka bego. Pukulin helm, mana ngefek? Bonyok, bonyok deh tuh tangan. [Belakangan gw tau mereka mabuk. Thank God for Anggur Orang Tua dan Mansion’s House]. Akhirnya, salah satu dari petinju dadakan itu sadar kalo korbannya adalah pengontrak rumah Raja Preman di kampung, dan menghentikan aksi sok heroiknya. Dengan susah payah dan tungkai kiri bersimbah darah gw tepiin motor. Sementara, belasan pemuda tak jelas ikut masuk ke gang sambil bawa motor yang nabrak gw dan membopong sang penabrak yang ternyata seorang Drama Queen. Pake acara syok dan gak sadar dia. Gw raba pantat gw yang rasanya semakin tipis. ’Lho! Dompetku!’, gw berseru. Dan Penguin mengacungkannya dengan manis, ’Nih. Tadi hampir diambil Mas-mas. Untung tak saut sik.’

Setelah urusan yang tidak jelas juntrungannya di tepi gang, gw ajak mereka ke rumah gw aja. Biar rundingan bisa lebih nyaman, si Drama Queen bisa berhenti akting, dan gw bisa cari cara menyetop darah gw yang terus ngucur. Si Drama Queen, yang ternyata bukan pemilik motor, tiduran di sofa. Gw periksa dia sekenanya dan gw bilang ke temen-temennya kalo dia gak papa, kaget doang. Temennya bersikeras bawa dia ke RS, yang langsung gw okein biar ga penuh-penuhin ruang tamu gw. Tapi si Drama Queen menolak dan terus meracau, mulai dari ’Aja nganti Sahanku ngerti’, sampai ’Iki wedokanku piye’. Halah, hari gini kok ya mabuk to, Mas? Buat hentiin darah, gw samber kaos kaki dan lap piring sekenanya, diiketin kenceng-kenceng di tungkai bawah kiri, dan membuat gw seperti pejuang kemerdekaan kena tembak Kumpeni.

Perundingan terus berjalan, meskipun kami jelas-jelas outnumbered dan outsized. Ya iyalah, cuma gw berdua ama Mia. Frodo Baggins and Penguin against the orcs of Middle-earth. We're of different league. Salah satu pemuda yang seemed to be the Alpha Male karena paling tinggi dan paling tua, sok jadi mediator. Namanya juga mewakili kaumnya [and he was drunk as well], jelas perundingan tidak berlangsung imbang. Dengan intimidasi mental dan fisik, the smartest thing I could figure out to say [and later I regret] was ’Oke, Mas. Saya ganti biaya bengkel motor situ, situ bayar biaya motor saya.’ Dengan tawaran yang jelas merugikan gw lahir dan batin itu aja, mereka masih gak terima dan mulai bawa-bawa perikemanusiaan dan solidaritas. Untunglah, temen-temen gw segera datang, dan setidaknya kasih bantuan moral sama gw. Dan akhirnya, empunya rumah gw, the Godfather of Karangwaru himself, datang [and thankfully was sober enough]. Dengan mudah dia usir anak-anak yang gak penting keluar, meninggalkan si sok-fasilitator saja di sofa.

Perundingan pun dilanjutkan, dan terbukalah kenyataan bahwa si penabrak, selain mabuk juga gak punya SIM. Plus, jelas-jelas dia yang ngebut dan nabrak gw. Kalo emang mo dibawa ke polisi, jelas menang gw ke mana-mana. Tapi, kontrak rumah gw masih setengah tahun lebih, dan no one, not even the cops, bisa menjamin keselamatan gw jika akhirnya gw yang menangin kasusnya. Apalagi mengingat belum apa-apa gw udah kena bogem malam ini. Istilah mereka, ’ditangani’ [baca: dikasih tangan, bukan ditangani yang artinya ’manned’]. Akhirnya, dengan posisi tawar yang lebih rendah, kesepakatan dicapai. Gw ganti biaya motor dia, dan sebaliknya. Rundingan untuk tentuin kapan dan di mana mulai baikin motornya dilanjutkan besok sore, nunggu mereka sadar dulu. Yah, terserah. Gw capek. Susah rundingan ama orang gak sadar.

Setelah semua begundal keluar dari rumah gw, luka-luka gw dan Penguin mulai dirawat. Beruntung, ada dokter PTT yang insentifnya 5 juta per bulan, jadi dia bisa rawat luka gw. Sempet gw tawarin buat bersihin luka mas yang punya motor, tapi dia ogah. Malah cuma bingung, diem plonga-plongo dengan muka merasa bersalah di ruang tamu gw. Ya sudah, pulang saja kau, bocah. Gw telpon orang tua gw, kasih laporan. Mereka bilang bakal dateng besok.

Pintu rumah ditutup. Suasana mendadak jauh lebih tenang dan damai. Kami semua masih gak percaya dengan apa yang terjadi. Kami perlu istirahat. Semua ngumpul di ruang TV, nonton Curse of the Golden Flower. Dan akhirnya, semua memutuskan beneran istirahat. Gw tidur di kamar adik, regarding his warning ’Jangan ada yang tidur di kamarku!’, Penguin di kamar gw, Om Anton di Kamar Uwuh, dan Upik Babu, Bajuri dan Lusi klekaran di depan TV. Ajaibnya, gw bisa langsung tidur pules.

Sunday, January 06, 2008

Akhirnya nyampe Jogja, aku mau mandi susu

Gw ga inget apa yang terjadi, tau-tau mobil udah setengah enam pagi, dan mobil udah jalan lagi disopirin Mas Andre. Secara udah deket pantai, panasnya udah mulai kerasa. Tapi gak cuma panas, ada sesuatu yang gak beres. Gw pengen boker.

Gara-gara nasi padang semalem! Seperti biasa gw rakus ambil daunnya. Efeknya, bangun-bangun gw pengen boker. Padahal boro-boro nyampe kota, kampung aja belum. Kami masih di tengah hutan! Duh... Gw lapor Mas Andre, ’Mas, kebelet!’
Dia bingung, celingak-celinguk. ’Ning kali isa ra kowe?’
Secara bokernya udah di ujung jalan kaya cintanya Agnes Monica, tanpa pikir panjang gw bilang ’Asal medane memungkinkan, ra popo!’

Kebetulan, pas ada jembatan. Dia tepiin mobil, gw samber Biore Men's Scrub yang harus turun pangkat jadi sabun pasca cebok, dan turun dari mobil. Sempet bingung cari-cari jalan buat turun ke sungai, sampe akhirnya temuin batu yang kira-kira bisa buat pijakan. Namanya juga kali, banyak blethok. Kotor deh sepatu cantik gw. Tapi gak papa, demi terpuasnya hasrat.
Setelah memapankan pantat pada posisi wuenak, bokerlah gw. Bokernya baik ama gw, dia rela keluar dengan cepat dan mudah, biar gw gak kelamaan di situ. Saking cepetnya, gw gak sempet perhatiin wujud dan rupanya, dia udah hanyut aja. Ya wis, buru-buru cebok, cuci tangan, manjat batu lagi. Pengalaman ini juga sebagai bantahan untuk dokter PTT sangat terpencil yang bilang gw gak bakal tahan hidup tanpa peradaban. Well, setidaknya gw udah pernah boker di bawah jembatan.

Di atas, gw disambut oleh Mas Andre, pak sopir dan temennya yang cengengesan. Mungkin kaget juga mereka gw bisa boker di kali. Ya sudah, perjalanan lanjut lagi. Sejaman kemudian, kami nyampe di ’kota’ Labuan Bajo.

Judulnya aja Labuan Bajo, pasti banyak kapal. Labuan artinya pelabuhan ato dermaga. Bajo merujuk pada satu suku di Bugis, yang kerjaan utamanya pelaut. Gw sempet liat pelabuhannya dari atas, dengan kesibukan orang-orang pada suatu Sabtu pagi di ujung Flores.



Secara masih jam 7 dan pesawat kami jam 11, kami cari makan dulu. Buat cari amannya, kami pilih Hotel Gardena, secara Mas Andre pernah nginep di sana. Ada untungnya Mas Andre suka SKSD, dia kenal ama mbak-mbak hotelnya. Punya nomer telponnya pula. Halah, SKSD po apa ki Mas.... Dia telpon si Edel, yang akhinya samperin kami dan bolehin kami numpang mandi di kamar mandi umum. O-i-a, ada gosip! Dua bulan lalu, Nicholas Saputra ama Mariana Renata nginep berdua di hotel ini. Hayo, ngapain aja tuu...

Makan pagi pun kami nikmati dengan seru, dikelilingi bule-bule yang lagi siap-siap ke Pulau Rinca. Cumi goreng tepung, cah kangkung dan nasi putih. Rasanya? Tidak sedahsyat di Bajawa. Mungkin disesuaikan ama lidah bule, jadi gak terlalu berbumbu. Dasar laper, abis juga akhirnya.

Abis makan, temen mas Andre samperin kami ama suaminya, mo anter ambil tiket pesawat. Mengingat adanya sejarah kelam di masa lalu, suasana sempat kikuk [hehe, sori Mas]. Ngobrol sana-ngobrol sini, kami dianter ke kantornya Indonesian Air Transport. ’Singkatannya IAT Mas, jangan dibalik’, Mas-masnya ingetin kami. Lucu, Mas.

Secara masih pagi, mereka tawarin kami keliling-keliling dulu buat ambil foto. Boleh juga. Kami ikutin motor mereka naik ke bukit kecil. Biar becek, untung mobilya bisa naik. Sampelah kami di satu bungalow, yang ada tulisannya ’private residence, no trespasser allowed’. Tapi si Mas dan si Mbak cuek aja, ya udah kami ikutin.

Ajib! Dosa memasuki daerah pribadi terbayar dengan pemandangan yang asik gila. Ini rumah ada beberapa tempat nongkrongnya, ama entah-kolam-entah apa, yang malah mirip tampungan air hujan.





Dari ujung halaman gw bisa ngeliat pulau-pulau kecil di sekitar Flores. Yang gw inget bener Pulau Monyet ato Kera gitu, yang kalo dipaksa-paksain mirip cewe lagi tiduran. Yumm...



Setelah sesi foto-foto, kami diajak minum di Paradise Resto, yang rajin ditongkrongin bule. Untung restonya udah buka. Ada beberapa gubug dengan kursi di bawah restorannya, supaya bisa dapet sudut lebih deket ke pantai.



Aura rastafarian kerasa kental di sini, dengan banyak aksesoris merah kuning ijo, pelayan-pelayan berambut gimbal. Adajuga bar lengkap dengan bartender berambut seperti WWE'S Carlito, yang lebih mirip orang kepulauan Karibia daripada Flores.



Kami pesen Coke sejumlah orangnya, plus dua botol gede Bir Bintang. Campuran yang cerdas! Dengan busa yang melimpah dan seksi, rasanya lumayan nakal. Pas diminum rame-rame, siang ato malem. Sayang, bikin haus. Ini nih, the tempting drink, along with Mas Andre's little secret.



Puas tengokin pemandangan dan poto-poto, kami dianter ke airport, yang gak nyampe 15 menit dari Paradise. Bandara Komodo lebih valid dari Bandara Maumere. Maksudnya, lebih pantes disebut bandara. Ujan lumayan deres pas kami nyampe. Ketir-ketir juga, kalo-kalo penerbangan kami bakal ditunda, secara runwaynya licin kaya gini:



Untungnya sebentar kemudian ujan berenti. Gara-gara bir + Coke, dan cuaca pantai, gw jadi aus. Terpaksa keluar boarding room, nyari minum. Cuma dapet spring water botolan lokal, gw lupa mereknya, yang penting basahin kerongkongan. Abis minum, pengen pipis.... Untung di bandara yang ini ada airnya. Kelar pipis, gw siramin sebagian besar air di ember ke kloset. Ternyata, kerannya mati juga. Halah... Gw keluar dari toilet dengan memandang iba pada orang-orang yang mungkin nantinya harus keluar toilet tanpa nyiram ato cebok. Gw duduk, dan merenungi apa yang telah dilakukan Flores pada sepatu cantik saya:



Jam 12 lewat, kami boarding. Pesawatnya kecil, kursinya 2 di kiri, 2 di kanan. Tapi dingin banget... Gw dapet window seat, yang membuat gw bersyukur sekaligus merutuki nasib. Pemandangan pulau-pulaunya luar biasa ajib dari atas. Tapi jangan lupa, gw masih rabun. Jadi gw cuma bisa ikut penumpang-penumpang lain berdecak kagum, meskipun sebenernya gak liat jelas hehe. Airnya bersih banget, warna cyan, dengan pasir putih mengelilingi masing-masing pulau. Keliatan beberapa bangunan di pulau-pulau, yang mungkin penginepan. Keliatan juga beberapa komodo asik berebut makan dan kawin [ngarang].

Turun di Denpasar, pemandangannya seru juga. Kombinasi unik alam dan peradaban, seru banget diliat dari atas. Kami turun, dan dijemput shuttle bus ke ruang klaim bagasi.
Abis ambil bagasi, kami sepakat berpisah. Gw mo balas dendam di Joger, sementara Mas Andre merelakan diri ngendon di KFC bandara sambil tungguin koper. Jasamu tiada tara, Mas. Ra tau kentara, maksude.

Dengan 30 ribu, gw naik taksi seorang diri ke warung lawar yang kemarin. Makan menu yang sama persis, dan numpang cuci muka dan boker [hehe] sebelum jalan ke Joger. Beberapa meter dari Joger, gw nyangkut di toko oleh-oleh yang kayaknya harganya sedikit lebih miring dari Joger. Mampirlah gw, beli oleh-oleh buat bokap, Penguin dan temen-temen. Baru ke Joger yang masih memutar Christmas Carols versi gamelan. Beli kaos buat adek, hiasan buat nyokap, dan oleh-oleh kecil buat temen-temen. Buat gw? Udah ah, ngirit. Palingan kaos adek gw pake-pake juga hehe. Mo beli hooded-jacket biru tua polos yang gw incer hari Minggu kemarin, tapi abis, tinggal yang pake bling-bling. Ogah. Kali ini secara beruntung gw dapet kasir yang sepi, gak pake ngantri.

Keluar dari Joger, coba beli Frestea botol PET di toko oleh-oleh tapi ditolak ama yang jaga toko karena 50 ribuan gw kegedean, ga ada kembalian. Halah. Terpaksa kembali ke selera asal, Dunkin Donut dan Paket Nik-Nak 1-nya. Trus cegat taksi di lampu merah, langsung ke bandara. Tanpa tawar-menawar sengit, gw berhasil naik dengan 25 ribu. Sempet ngobrol-ngobrol ama pak taksinya, dan dia menjadi entah orang keberapa yang mengira gw dari Jakarta. Pak, Anda tertipu mentah-mentah.

Di bandara, samperin Mas Andre yang pantatnya nempel di kursi merah KFC. Betah amat... Ya udah, tungguin Mantan Bos Cewek [MBC] yang bawain kami tiket sambil baca Kompas Sabtu, dan melampiaskan narsisme.



Hati kebat-kebit saat sekretaris kantor bilang kalo Bos yang kebetulan ke Kupang, balik ke Jogja hari ini lewat Bali. Jam yang sama, airline yang sama, pesawat yang sama. Damn. Setelah sekian pertengkaran ala sinetron, I'm sooo not in the mood to even see his face. Gw langsung ajak Mas Andre dan MBC check-in, keburu Bos nyampe dari Kupang dan check-in bareng, dan akhirnya duduk bareng. Gw langsung seret koper ke tempat check in, tinggalin mereka berdua yang jalan pelan-pelan. Maklum, udah pada uzur hehe.

Nyampe di tempat check in. Halah, tiketnya ama Mas Andre. Gw musti tunggu mereka berdua. Begitu gw noleh ke belakang, mereka yang tadinya berdua sudah jadi bertiga, ditambah Kau-Tahu-Siapa! Gw langsung kirim sms Mas Andre yang isinya satu kata: ’Asem’. Padahal bolak-balik berdoa 'deliver us from evil'.

Dua keajaiban terjadi. Pertama, moke yang gw taruh di shoulder bag lolos sensor. Dua kali, lagi! Padahal di sensor X-Ray dengan jelas keliatan 3 benda bentuk botol di tas gw: 2 botol moke dan 1 botol air lensa. Kedua, meskipun check in bareng, kursi kami bertiga gak sederet ama Kau-Tahu-Siapa. Haha. Biar demikian, di boarding room he dominated the conversation with MBC, menggagalkan rencana curhat abis-abisan kami ke MBC.

Naik pesawat, udah gak pake tidur lagi. Nikmatin pesawat dong, Garuda ini. Semua berjalan damai, sampai akhirnya Kau-Tahu-Siapa minta MBC pindah ke kursi di sebelah dia. MBC sempet cubit paha gw waktu pindah kursi, yang gw bales dengan ketawa licik seperti karakter manga merencanakan sesuatu yang jahat.

Akhirnya, nyampe Jogja! Mereka semua meninggalkan gw yang harus nungguin Penguin jemput gw. Akhirnya Penguin dateng juga. Kami ke Kandang Penguin, dan sayangnya ada Teman Penguin yang Berpipi Bakpao. Pulang aja sana, ngganggu! Hehe. Dia pulang, malah Kakak dan Calon Kakak Ipar Penguin yang dateng. Hasyah. Kami pun cabut ke rumah Tangta, setelah akhirnya gw pake soplens yang dibeliin Penguin dan tidak rabun lagi. Hallelujah.

Di rumah Tangta ngegosip sambil makan pancake coklat keju, trus balikin Penguin ke Kandang. Gw masih harus jemput Upik Babu gw yang menjual jasanya di Groovy Net Colombo, sebelum akhirnya beneran pulang ke rumah. Phew. Home, at last.

Akhirnya perjalanan PANJANG [panjang, dengan huruf kapital!], dan serangkaian peristiwa buruk berakhir juga. Tapi di balik semua ini banyak pencerahan yang gw dapet. The series of unfortunate events, I believe, happened because there’s something wrong with me. Or my life. Mungkin gw perlu rencanakan serangkaian program ruwatan. Bisa dimulai dengan mandi susu mungkin? Kedua, berada di antah-berantah tanpa laptop dan film-film di dalamnya, bikin gw terjebak dengan satu buku lawas untuk dibaca. Paling tidak kasih gw sesuatu, meskipun belum gw sentuh lagi sepulang dari NTT sampe sekarang hehe. Ketiga, gw harus segera beli kacamata buat serepan lensa kontak. HARUS. Keempat, jangan lupa masukkan benda-benda penting di cabin bag: chargers, air lensa, dan dokumen-dokumen. Oh ya, beberapa celana dalam di cabin bag mungkin akan sangat membantu. Just in case.

Jalanan di Flores sekeriting rambut penduduknya

Idle day! Di hari yang kesekian di NTT [entahlah, gw disoriented], gw gak punya banyak kerjaan. Tinggal tunggu orang-orang kumpulin data aja. Mumpung ada Mas Andre, dia aja yang ke Dinkes. Biar kurusan dikit. Hehe.

Sebagai permintaan maaf telah menyandera kami sehari, Kepala Dinkes pesenin kami tiket pulang besok. Tepatnya, suruh anak buahnya pesen tiket buat kami. Rencananya kami bakal terbang dari Ende ke Denpasar besok jam 1. Gara-gara kemaren Mas Andre boong kalo tiket Merpati Ende-Denpasar cuma tinggal hari Sabtu, beneran deh kami pulang Sabtu. Sesuk meneh ora ngapusi Mas!

Ada untungnya jadi sedikit paranoid dan obsesif-kompulsif kaya salah satu dokter RSUD Sekayu. Insting gw bilang ada yang gak beres, mengingat pengalaman-pengalaman aneh terbang dengan Merpati. Segera gw telpon Merpati Ende. Ternyata besok pesawat berangkat jam 12. Tuh kan... Tapi kok masih agak ganjel? Gw coba telpon lagi. Madurodok! Tiket Merpati Ende-Denpasarnya abis! Ya emang bener, kami udah dipesenin. Tapi tanpa uang muka, Merpati berhak jual tiket kami ke orang lain. Dan habis sudah kursinya. Gw menatap Mas Andre yang gak kalah kagetnya. ’Njur kepiye ki?’

Beruntung Mas Andre punya temen di Labuan Bajo. Temen dengan sejarah tertentu sebenernya. Entah gimana, Tuhan sayang kami. Temen Mas Andre punya temen yang kerja di agen Indonesian Air Transport a.k.a IAT [gw baru tau there is such airline]. Kami bisa dipesenin tiket ke Denpasar. Gak pake uang muka! Tapi uang pantat. [?]

Keberuntungan masih di pihak kami. Mantan Bos Cewek yang tinggal di Bali, ternyata mo ke Jogja hari Sabtu sore. Yang artinya, kami bisa minta dia cari tiket juga buat kami. Sempet harap-harap cemas, secara ini hari libur dan dia gak bisa minta sekretarisnya cariin. Tapi entah gimana, dia bisa urusin sendiri tiket buat kami. Yay!! Jogja, Jogja....

Yang perlu dipikirin selanjutnya adalah gimana caranya nyampe ke Labuan Bajo. Gak main-main, musti 8 jam lewat jalan darat ke sana. Akhirnya kali ini Bu Hilde, Kepala Dinkes Ngada berjasa buat kami. Dia sediain mobil plus sopirnya ke Labuan Bajo. Sip... Thanks, Munyuk Tua. Eh salah. Thanks, Mama Tua.

Biar ga kemrungsung, kami berangkat Jumat malem. Jadi nyampe sono masih bisa istirahat sebelum terbang lagi. Kedengarannya seru. Baiklah kalo gitu. Jam 7 malem kami udah siap, tinggal berangkat. Akhirnya Om Joni jemput kami pake Kijang ijo.

Belum setengah jam berkendara, ada sedikit masalah. Om Joni ditelpon keluarganya kalo bokapnya yang dirawat di Puskesmas Aimere mo dirujuk ke RS Bajawa. Lhah, terus gimana ni? ’Gak papa, ntar juga ketemu di jalan’, Om Joni bersikeras terus anter kami. Bener juga, setengah jam kemudian kami papasan ama ambulans Puskesmas, trus Om Joni sempet koordinasi ama keluarganya. Bolak-balik kami minta Om Joni pulangin kami ke Bajawa, biar kami dianter sopir lain aja. Malah Om Joninya yang ogah. Ya sudahlah, apa kau kata, Om.

Di Aimere, mampir lagi buat beberapa keperluan. Pertama, ketemuan ama sodara Om Joni, yang akhirnya ikut naik mobil buat temenin Om Joni. Kedua, makan nasi Padang yang lagi-lagi ayamnya mahal padahal kecil. Ketiga, beli moke buat bikin mabok anak-anak di Jogja. Sekalian, sebotol Aqua 1,5 liter gw beli dengan 30 ribu. Baru deh berangkat ke Labuan Bajo.

Satu yang gw ga pernah tau, jalanan di Flores sekeriting rambut penduduk aslinya. Gila aja, tiap 10 meter belok. Untung gw ga mabok, banyakan tidur sih hehe. Dan mungkin hanya NTT yang jalan provinsinya tidak lebih lebar dari gang ke rumah gw. [Katanya] Pake acara ular lewat, lagi. Mana rutenya aneh. Dari Bajawa yang pegunungan, ke pesisir, trus naik lagi ke Ruteng, turun lagi ke Labuan Bajo. Terserah ah, yang penting nyampe. Udah kebayang-bayang rumah di Jogja je.

Di tengah jalan, terjadi sesuatu yang aneh. Ada bunyi klothak-klothak dari sisi kanan mobil. Tadinya kami abaikan aja, sampe akhirnya ketauan kalo ban kanan depan udah kempes banget. Untung ada ban serep, dan untungnya kami gak ada di tengah hutan. Dengan sedikit perjuangan ngakalin dongkrak yang kurang tinggi, dan dibantu penduduk sekitar, kami berhasil ganti ban. Selesai? Belum tuh. Musti cari tempat tambal ban buat yang bocor.

Jangankan di NTT, di Jogja aja susah cari tambal ban jam 11 malem. Kami beruntung ketemu satu tempat tambal ban yang sebenernya udah tutup tapi bisa dipaksa-paksain buka. Setengah jam lebih kemudian, dan dengan sepuluh ribu, ban kembali beres. Berangkat!!!

Sempet terjadi beberapa kali pergantian pemain untuk menyetir mobil. Sampe akhirnya, entah jam berapa dan di mana, Om Joni tepiin mobilnya. Dan semua kompak tidur pules.

Friday, January 04, 2008

Hari entah keberapa di NTT: gak ada warung burjo!

Bangun pagi-pagi banget karena harus nyampe Dinkes jam 8. Pesen mi goreng ke mbak-mbak hotel yang kayaknya bersyukur kami gak jadi balik. Sekalian minta mereka cuciin beberapa pakaian, termasuk yang basah buat mandi di pemandian.
Agenda hari ini cukup gila. Gw harus ke Puskesmas Aesesa, yang jaraknya ’cuma’ 2,5 jam dari Bajawa. Cukup di situ? Gak. Gw harus keliling kecamatan, wawancara ama 20 responden. Padahal, idealnya wawancara satu responden makan waktu sekitar 45 menit. Que sera sera.

Kami baru bisa departed dari Dinkes jam 9 lewat. Telat banget sebenernya. Gw naik Suzuki Elf yang punya panggilan kesayangan Oto Roti. Oto = mobil. Roti = roti tawar, secara bentuk mobilnya kaya roti tawar. Pemandangan di jalan sebenrnya seru. Masalahnya, gw masih rabun! Stau-satunya alat bantu penglihatan ya kacamata yang udah bulukan. Udah ah, mending tidur.

Jam 12 lewat kami baru nyampe di rumah kepala Puskesmasnya. Sempet disuguh Sprite kaleng, sebelum akhirnya jam 1 gw berangkat ama salah satu staf Puskesmas buat cari data. Pake motor. Di dataran rendah Flores yang mataharinya dua. Duh, jangan-jangan gw jadi seeksotis Mbak yang Unbreakable itu.

Secara wawancara dan pengacakan responden gw beneran, baru dapet 2 responden taunya udah hampir jam 3. Belum makan siang pula. Ya sudah, dipilihlah Warung Tulung Agung buat meredakan lapar. Makan siang sambil gosipin perseturuan antara Kepala Puskesmas dan kakak kelas gw. Ayam goreng [yang jauh lebih kecil dari sayap goreng KFC], sayur bening, nasi dan minum 2 orang gw bayar 29 ribu. Mahal. Padahal udah gw bilang gw dari Jawa [njuk ngapa?]. Ah, sudahlah. Lanjut lagi.

Setelah dapet satu responden lagi, gw diajakin ke sekitar calon lokasi pembangunan RS. Biar respondennya beneran acak, gitu. Jauhnya 6 kiloan dari pusat kecamatan, dan kami tempuh dengan menembus gerimis. Nyampe di sono, ujan tambah deres. Kami pilih rumah yang kira-kira bisa buat wawancara sambil berteduh. Kelar-kelar udah jam 6 lewat. Balik lah kami ke pusat kecamatan. Bukan gerimis lagi sekarang, ujan! Tanpa jas hujan ato jaket kami nekat. Percuma dandan ganteng.

Nyampe di Puskesmas lagi, udah ada Mas Andre yang abis puas makan babi lagi. Dia menawarkan diri bantuin ambil data. Oke, 4 responden lagi bisa kami dapet malem itu sebelum akhirnya balik ke hotel. Responden terakhir gw cukup bikin frustrasi, secara dia tidak fasih berbahasa Indonesia dan gw gak ngerti bahasa lokal sama sekali. Hasyah... Total 8 responden kami dapet. Jauh dibandingkan ama Mas Andre yang secara curang dibantuin 2 staf Puskesmas, jadi beres 20 responden.

Kami pulang pake ambulans. Karena cuma dua kursi di depan, gw duduk di belakang. Tepatnya, tidur di brankar. Secara licik, tiap kali jalanan agak rame si sopir pasang sirine, jadi kami bisa bludhas-bludhus lewat.

Udah jam setengah 11 waktu kami nyampe hotel. Warung-warung pada sentimen ama kami, kompakan tutup semua. Pegawai hotel juga udah terlalu capek bikinin kami sesuatu buat dimakan. Layaknya korban banjir baru dapet bantuan, gw kunyah Mie Gelas tanpa diseduh dan beberapa keping Nissin Cheese Crackers. Jauh dari kenyang, tapi gak ada pilihan lain. Aa-aa burjo ato Mas-mas angkringan gak kepikiran buka cabang di NTT sih. Well, ambil hikmahnya aja. Setelah makan gila-gilaan beberapa hari, sudah waktunya sedikit mengencangkan ikat pinggang.

Hari 'terakhir' di Bajawa: penderitaan belum berakhir

Yes! Ini bakal jadi hari terakhir di Bajawa. Kami bakal berangkat jam 1 dari Ende ke Denpasar, trus jam 4 dari Denpasar ke Jogja. Penguin akan segera bersatu dengan pawangnya! Pagi-pagi, koper udah siap, dandanan udah oke, secara udah bisa ganti baju. Kami berangkat ke Dinkes jam 7 buat selesain surat-surat yang katanya tinggal dikiiiit lagi. Ya iya lah, dikit. Gila aja Mas Andre sampe balik jam 5 kalo ternyata urusannya masih banyak ini hari.


Memang sih, mereka ngarepin kami [baca: tepatnya Mas Andre] tinggal sehari lagi buat bantuin urus macem-macem ama Pemda. Gw mah udah ga ada urusan lagi. Mo balik, balik deh. Secara tiket udah di tangan, dan kami tinggal pergi ke Ende, Mas Andre siapin rencana buat ngeles bahwa tiket Ende-Denpasar untuk besok dan besoknya udah abis, jadi mau gak mau kami balik hari ini. Sounded smart, meskipun tep wae ngapusi [I dont’ believe in such thing called white lies]. Rencananya, dia mo selesein semua sebelum jam 9 karena perjalanan Bajawa-Ende makan waktu paling enggak 2,5 jam. Biar ga telat check in.

What happened then was effing enough untuk membuat kepanjangan akronim WTF keluar dari mulut. Kami. Tidak Boleh. Pulang. Tepatnya, Mas Andre terpaksa ditahan buat temenin mereka ngadep ke Pemda. Padahal sebenernya kami udah di dalem mobil ke arah Ende. It pissed me off. Really. Betapa pun mereka minta maaf, gw ga bisa boong. Tampang jutek gw menyatakan bahwa mereka bikin gw bete. Kalo gw naga, udah hangus seluruh Bajawa. Untung shio gw babi [lho?].

Sebete-betenya gw, tetep aja rencana mereka ga bisa diubah. Gw tetep harus tinggal sehari lagi. Semua tiket hangus, meskipun bukan gw juga sebenernya yang bayar. Secara bete, gw minta dipulangin ke hotel sebelum Mas Andre ke Pemda. Sebelum ke hotel mampir makan dulu. Rasanya pengen ngabisin seluruh stok dagangan Warung Makan Emanuel. Ayam goreng, cap cai, dan sate b2 masuk ke perut kami berdua, juga perut sopir yang mukanya juga udah ikutan ngenes kaya kami.

Nyampe di hotel, listrik mati. Gak ada alternatif lain, tidur!!! Sementara gw asyik molor, Mas Andre juga berasyik-masyuk di Pemda. Asyik dibantai maksudnya. Gw lagi meregang badan di tempat tidur dan tiba-tiba Mas Andre masuk membawa kabar yang lebih buruk, jauh lebih buruk. Kalo rencana tinggal sehari lagi di Bajawa adalah Gempa Jogja 27 Mei 2006, kabar yang ini seburuk Ledakan Krakatau 1883. Gw harus extend 3 hari. Atau empat.

Kemarahan membuncah, gw telpon sekretaris kantor, minta Bos telpon gw. And then the drama started. Gw marah-marah gak jelas sampai akhirnya telepon ditutup karena kalimat terakhir Bos, ’Kamu kerja jangan nglokro lho Shak. Oke?’, tidak gw jawab. Mutung. Tanpa kasarung.

Makan waktu beberapa jam sampai akhirnya gw bisa terima cawan yang terlalu berat ini. Udah lah, pasrah. Sorenya ke Dinkes lagi buat koordinasi pengambilan data. Malemnya, makan enak lagi buat ngelepas stress. Sori kalo kami pulang ke Jogja dengan pipi kaya Bedu, tapi gak ada alternatif pelepas stress lain. Cap cay, ayam bumbu Bali, cumi asam manis, dan vanilla latte masuk ke perut. Untung masakannya enak. Enak banget, malah. Lumayan, buat adem-adem kepala. Tapi makan malam yang luar biasa hanya bisa diakhiri dengan minuman biasa, secara gw masih harus lembur gabungin data.

Hari yang gila diakhiri dengan kerja ampe hampir jam 2. Ah sudahlah. Let’s see what tomorrow has in store.

Wednesday, January 02, 2008

Hari ketiga di Bajawa: Bencana masih bertubi-tubi

Hari kedua diawali dengan males-malesan. Bajawa masih dingin. Kami masih tanpa koper. Dan gw masih cakep [uhuy].

Secara perut kami perut ndesa dan roti bakar aja gak cukup, mending pesen mi instan. Daripada repot nyari sarapan lagi di luar. Mbak-mbak hotel yang ngecengin gw anterin semangkuk guede mi rebus dengan irisan cabe merah dan sawi, yang anehnya rasanya aneh. Makan mie sambil menikmati pemandangan indah, dan sebagai imbal balik memberikan pemandangan indah buat mbak-mbak hotel. ’Eh itu tuh, dia duduk di luar’, si mbak kasih tau temennya di dapur. Aku krungu yo, Mbak...

Abis mandi, pake lagi baju yang kemarin dibeli di pasar. Biar aja gak pernah ganti baju. Kepepet. Berangkat ke Dinkes. Mas Andre siapin surat-surat perjanjian. Gw cari-cari data. Gek begitu lama, kami balik ke hotel. Paling juga jam setengah 1 udah nyampe kamar. Makan dong!

Pilihan kami jatuh ke Dito’s Resto, cuma nyeberang hotel. Menunya macem-macem banget. Dari salad, steak, chinese food, aneka sup, pancakes, ampe ikan bakar ada. Pesenan pun diputuskan: gw mo ikan panggang, Mas Andre cumi asem manis [nganti rupane kaya cumi], dan salad sayur buat berdua. Nunggu makanan dimasak sambil nonton berita banjir di Jawa. Ini baru jam satu, tapi udah mulai dingin. Ujan sih.

Setengah jam lebih, baru pesenan dateng. Ikan bakar gw berupa fillet ikan berukuran 10 x 10 x 3 cm. Kenyang duluan ngeliatnya. Cumi Mas Andre gak kalah banyak. Saladnya malah dikit, cuma irisan sawi putih, kol ama wortel disiram kuah cuka. Seger sih. Kesimpulannya: huyeah.



Beres makan, kami telpon Om Meki lagi, nanyain koper. Dia bilang koper udah diberangkatkan ke Bajawa pake bis Alleluia jam 8 tadi. Berarti bentar lagi nyampe ni. Sambil nungguin, tidur ah... Sekitar jam 4, sopir Dinkes dateng buat anter kami ambil koper di terminal. Bus Alleluia udah nungguin kami. Akhirnya datang juga kopernya.... Seperti menyambut kembalinya anak yang hilang, gw sayang-sayang koper gw, kecup-kecup isinya. Ini nih foto baggage tag yang bikin gara-gara, MOF artinya Maumere of Flores.



Kami masih ada satu agenda lagi malem ini, tapi musti nungguin Kepala Dinkesnya dateng dari Ende. Karena masih kesiangan buat mandi, si sopir ajak kami mandi air panas di Soa. Ajakannya jelas kami sambut.

Perjalanan ke Soa sebenernya gak jauh. Tapi karena jalan dan nyetirnya nggilani, selain pengen ngelepas stress urusan koper, rasanya pengen buruan nyampe. Sempet lewatin bandara kecil, yang katanya didatengin pesawat Fokker beberapa kali sehari. Meskipun nyetirnya gila, begitu ada anjing si sopir ati-ati banget.
’Kenapa Om? Harus ganti ya kalo nabrak anjing?’
’Iya. Lumayan juga tuh, satu anjing dihargain 300-400 ribu.’
Hasyah. Mending beli sepatu.

Nyampe di Soa, perasaan gw ga enak. Kok mata gw rabun sebelah? Gw kucek-kucek, mata kanan tetep kabur. Jangan-jangan softlens gw... Ah sudahlah, paling juga keselip di bawah kelopak kaya biasanya. Yang penting mandi dulu di Pemandian Air Panas Mengeruda, Soa. Ada beberapa kolam di sana, selain mata air yang ngalirnya cukup kenceng. Kami pilih kolam yang di pojok. Paling sepi, dan kayaknya lebih bersih daripada yang lain. Mau liat bedanya badan terawat dan enggak? Nih..



Airnya seru! Enak banget rasanya bisa berendem setelah beberapa hari buneg mikirin bagasi. Bodohnya aku, gw cuek aja BERENANG pake soplens. Ya teman-teman, bukan cuma berendem, gw berenang pake gaya kodok ke sana-sini. Merem tentunya. Abis itu, pindah ke mata air yang ngalirnya kenceng, kaya jacuzzi alami. Stase terakhir, gw mandi ama anak-anak di area yang biasa buat berbilas. Seneng juga mandi ama anak-anak pribumi sana, secara gw jadi tampak putih. Uhuy.



Puas maen air, kami balik ke hotel. Cuma nurunin baju kotor, trus langsung ke Dinkes buat selesein urusan kontrak. Gw udah gak nyaman banget, secara mata gw masih kabur sebelah. Satunya minus 3,5 Dioptri, satunya normal. Pusing!!! Bolak-balik gw kucek-kucek mata, coba n yari soplens yang [gw pikir] keselip. Ternyata ga ada juga. Dipancing-pancing pake tetesan mata, ga keluar juga. Berarti sudah bisa disimpulkan: soplens kanan gw ilang.

Mana urusannya tidak sesimpel yang gw kira. Dan gw harus tetep di Dinkes buat nungguin Mas Andre urusin surat-surat yang sama sekali bukan kepentingan gw. Sebel. Makan nasi kotak jadi gak enak. Ngeliat gelagat gw udah mulai naik darah, satu bapak-bapak tawarin gw tiduran di sofa. Males ah. Akhirnya setengah 2 pagi gw minta dianterin balik, meninggalkan Mas Andre Bernasib Malang yang baru bisa pulang hampir jam 5 pagi.

Setelah koper ada di tangan, kok ya soplens gw yang bikin gara-gara. Mending kalo ilang di Jogja, gw bisa langsung ke optik. Cuma ada satu optik di Bajawa, dan tidak lebih besar dari Optik Kopma UGM. Gw gak yakin mereka pernah tau yang namanya soplens. Parahnya lagi, kacamata gw rusak, dan kekuatan lensanya udah so-last-year, gak cocok lagi. Ya sudah, pasrah jadi pendekar mata satu. Sabar... Tinggal sehari lagi.