Friday, May 30, 2008

quest of finding a niche

Sudah enam minggu, dan gw masih harus jelaskan berulang kali ke banyak orang tentang kerjaan gw. Jawaban 'jadi konsultan manajemen Rumah Sakit' ternyata akan memancing pertanyaan lanjutan, 'Di Rumah Sakit mana?'. Secara otomatis file Penjelasan_Pekerjaan_Baru.MP3 terbuka di otak gw, dan bibir gw bersuara. 'Aku di PT Swasta. Gak di Rumah Sakit. Gak pegang pasien. Klien kami Rumah Sakit. Kami menyediakan jasa konsultasi manajemen buat Rumah Sakit. Jelas?' Beberapa orang cukup puas dengan jawaban ini. Beberapa lainnya menuntut jawaban yang lebih rinci. Dan meluncurlah semuanya dari bibir gw [ato jari gw kalo via YM]. Klien kami bisa Rumah Sakit yang mo berdiri ato yang udah ada. Biasanya mereka minta studi kelayakan, rencana bisnis, rencana strategis, whatever. Jadi kami harus analisis internal-eksternal. Tentuin pangsa pasar. Tentuin strategi. Bikin strategic actions. Bikin marketing plan, capacity plan, personnel plan, financial plan sampai corporate plan. Dan kalimat-kalimat lain, sampai akhirnya si penanya berhenti nanya. Sebagian diem dan bisa ngerti jawaban gw. Sebagian diem karena mabok, dan nyesel udah nanya. Pokoknya, kerjaan gw adalah bikin Rumah Sakit bisa menempatkan dirinya sesuai harapan pasar yang dituju, and run well. Bingung? Sama.

Gw ga mo ngomongin kerjaan di sini. What happens in Vegas, stays in Vegas. Kerjaan jangan dibawa-bawa ke blog hehe. Gw cuma nyari analogi yang sesuai ama cerita inti gw: perjuangan mencari bioskop yang nantinya bakal jadi langganan gw.

Di Bandung ada buanyak bioskop. Ada ?? bioskop 21, 2 Blitz Megaplex, dan entah berapa lagi. Semuanya punya value proposition sesuai dengan target pasar mereka. Megaplex menawarkan eksklusivitas dan kenyamanan, dengan harga tinggi [baca: sama ama 21 Amplaz]. 21 di BIP menawarkan diri sebagai tempat mangkal ABG, dengan fasilitas oke dan harga standar. Dan ada juga bioskop yang ga punya apa-apa buat ditawarkan.

Gw, sebagai pendatang baru, sedang berjuang mencari bioskop mana yang bisa jadi niche gw. Megaplex is friggin great. Tapi jauh dan yang jelas, MAHAL. 21 BIP kurang lebih sama ama 21 Amplaz, dengan harga hampir separonya. Tapi, dipenuhi remaja-remaja yang mungkin pre-menarche, anak-anak SMU sok dewasa, dan mahasiswa-mahasiswa sok ABG. Intinya: terlalu rame! Secara gw bakal sering nonton sorangan wae, gw males ke tempat yang rame-rame. Kesimpulannya, gw mau bioskop yang fasilitasnya oke [ga harus luarbiasa], ga mahal, dan ga rame-rame banget. Bioskop mana yang menawarkan sesuatu yang sesuai harapan konsumen macam gw?

Ada dua kandidat yang bakal gw jajaki. Pertama, 21 di Braga City Walk. Kalo ngeliat tempatnya dari luar sih kayaknya cukup menjanjikan. Braga gitu loh. Kedua, 21 di Regent Jalan Sumatera. Menengok masa kejayaan Regent di Jogja [sebelum secara tragis kebakar dan menyisakan cerita-cerita Dunia Lain], kayanya Regent yang ini patut dicoba jugak. Oke! Gw coba Regent dulu.

Perjalanan dilakukan dengan angkot. Dua kali, dari Kebon Kawung ke Stasiun, trus dari Stasiun ke Dago. Gw turun di simpang Jalan Aceh-Sumatera, secara kata 21cineplex.com alamatnyah ada di Jalan Sumatera nomer 2. Ternyata sodara-sodara, tempat gw turun adalah Jalan Sumatera 40an. Berdasarkan inpo Bapak Becak Nan Baik Hati gw disuru jalan. 'Di ujung sana, Jang, lewat rel kereta api. Jalan aja' Gw pikir, halah 38 nomer ini. Apalah artinya bagi hamstrings dan musculus gastrocnomeus saya yang sudah demikian terlatih enam minggu terakhir. Jalanlah gw.

Busyet. Rumahnya gede-gede. Udah jalan lama gw baru nyampe nomer 30an. Belum ada tanda-tanda rel kereta. Gw mendapat firasat buruk. Tapi apa daya, ini jalan satu arah. Inilah saatnya gw bersyukur masih banyak pohon gede di tepi jalan-jalan Bandung. It took me forever walking, lewatin Taman Lalulintas [taman yang aneh], rel kereta api, dan bakery yang tampaknya layak dicoba, dan akhirnya nyampe di kompleks Regent. Hosh.... Om Anton pasti bakal pingsan duluan setengah jalan. Selesaikah perjuangan gw? Belum! Gw harus naek 3 lantai sebelum akhirnya beli tiket dan langsung masuk ke Teater 2 secara Indiana Jones and the Kingdom of Crystal Skulls udah mo mulai. Gw duduk, ngatur nafas sambil ngeliat slide iklan yang diproyeksikan [Gosh... jadi kangen Mataram].

Dan akhirnya film dimulai. Dua jam nonton film ini bikin National Treasure serasa mediocre. It's Spielberg and Lucas, jadi tinggalkan logika Anda di kamar tidur. Waktunya berfantasi! Karakter dan chemistry tiap tokoh bener-bener ada. Gw jadi tau kenapa Calista Flockhart mau ama Opa Ford, dan kenapa Shia Le Bouf layak disebut the Hollywood's It Boy. Efeknya sebenernya ga luar biasa, banyak film yang lebih dahsiyat. Tapi aksi karakternya bikin film ini layak dibikin RPG. Yang jelas, alasan utama gw suka film ini adalah ceritanya. It's treasure hunting + Extraterrestrial beings!!! Woohoo!!! It's something I always lurrrrve. I remember the good ol days watching a show in SCTV showing proofs of encounters and testimonies of contactee with my brother. And we both believe they really exist. An guess what, Vatican has finally acknowledged them. So, like it or not, take the fact that aliens DO exist.

Gw keluar. Pipis. Trus pulang. Untunglah kali ini ga harus jalan jauh banget. Dengan angkot Gedebage-Stasiun Hall, dalam 15 menit gw nyampe Kebon Kawung.Kesimpulan dari kunjungan ke 21 Regent Jalan Sumatera: not bad, pemirsa. Mak nyus enggak, parah banget juga enggak. Kursi lumayan enak. AC kurang kerasa. Gambar biasa, suara di bawah BIP. Kamar mandi memprihatinkan. Teater cuma 3, dan yang 2 biasanya film Indonesia. Yang jelas, lumayan sepi dan sebagian besar penonton bukan ABG lagi. A niche for me? Bisa jadi. Coba Braga dulu, baru kita bisa putuskan. Tapi ga tau kapan bakal ke sana. Secara the last time I checked, they played Jones, Lost in Love dan Coblos Cinta. Musti nunggu film yang layak tonton lagi. Oke. Jadi I still haven't found what i'm looking for. Doakan saya!!

PS: setelah ngecek lagi di software peta Bandung, sebenernya gw bisa naek angkot Stasiun Hall-Sadang Serang dan turun TEPAT di depan Regent. JADI BUAT APA GW JALAN SATU KILOOOO????!!!!!

Kaca Idaman Lain

Ada beberapa pertanyaan di dunia ini yang sebaiknya dipikirkan berulangkali sebelum dilontarkan. Salah-salah, jawabannya akan menciptakan kecanggungan tingkat tinggi not even Oprah can handle. Contoh. Pertanyaan kepada seorang wanita hamil dengan baby blabber yang cukup signifikan, 'Wah, hamil berapa bulan? Kayanya kandungannya sehat nih' Dan ternyata jawabannya adalah, 'Makasih. Anak gw udah 4 bulan sekarang. Cuma berat badan gw belum turun juga. Tenang, lu orang ke dua puluh yang bilang gitu.' Atau mengucapkan selamat ulang tahun pada calon mertua, 'Selamat ulang taun, Bu. Umur 50 berapa nih?' Sang calon mertua menolehkan kepalanya 30 derajat dan dengan tatapan mata Cyclops berkata 'Makasih. Masih 45 kok', dan Anda tidak lagi dianggap calon menantu.
Dan gw masih heran, how in the world Mrs. Landlord meticulously inspected me as I walked into the house and asked, 'Di kamar teh udah ada kacanya belum?'

Shot to the heart. Gw meleleh di tempat. Gw layu, pucat, punah layaknya pohon oak diterpa global warming. Secarrrra, sekian kali gw lewat depan dia flawlessly clad. Shirt symmetrically tucked in. Poni yang jatuh sempurna. Masih perlukah keberadaan cermin di kamar gw dipertanyakan? Dan gw menjawab 'Yes, Maam. Tentu udah ada kaca di kamar mandi saya, dan saya sangat mencintainya. I grope every single inch of its surface all day. Kiss it every night. I even have sex with it, occasionally.' Semoga itu cukup menjelaskan kecintaan gw pada cermin. Secara buat gw, kebutuhan primer manusia adalah sandang, papan dan cermin. [Ini menjawab teka-teki of how i shed 4-5 kgs in six weeks. Gosh, I can write a best-selling book about it]

Akhirnya gw inget. Beberapa minggu lalu gw minta lemari di kamar gw diganti ama yang lebih gede. Secara, semua kamar di kosan ternyata punya lemari gede yang ada kacanya. By default, sejak hari pertama kamar-kamar itu ditinggali. Dan entah atas konspirasi apa, kamar gw kebagian lemari yang kecil. Dengan provokasi seorang kolega kos, gw berulang kali menghadap Ibu Kos dan minta lemari gw diganti biar sama ama yang lain. Siapa sangka hati Ibu Kos lebih kukuh dari Margaret Thatcher. Ada aja alasannya. 'Kalo cowok kan bajunya dikit'. 'Lemari yang gedenya udah abis, dipake semua. Besok deh kalo ada'. Pendirian Ibu Kos bahkan tidak berubah saat gw melepas satu demi satu helai baju, dan berayun di tiang bendera hanya dengan thong. Padahal trik ini ga pernah gagal sebelumnya. Gw mengibarkan bendera putih. Nyerah.

Beberapa minggu kemudian, Nguin datang! Penguin pun bersatu dengan Pawangnya, meskipun tidak untuk selamanya. Kurang lebih hanya seperti the Close Encounter of the Third Kind. Setelah perjuangan tawar-menawar harga yang lebih alot dari rendang sapi bangkotan, Nguin akhirnya bisa nginep di kosan gw. Eits, jangan suudzon dulu. Dia di lantai bawah, gw di lantai atas.

Singkat kata, singkat cerita, setelah dua malam Nguin kembali ke habitatnya di Jogja. Gw kembali menghadapi kenyataan harus menghabiskan malam-malam yang sepi sendiri, tak ada yang menemani. Tuhan kirimkanlah aku, kekasih yang baik hati. [Gabruk, Brooke White jatuh dari langit]. Yang jelas karena Nguin dateng, jadi ketauan kalo kamar yang ditempati Nguin ADA lemarinya gede. And the room is vacant. In fact, it's been undwelled for weeks. Ha! Mrs Landlord has nowhere to hide!
Gw langsung set Nyi Blorong Mode: ON, dan siap bertanya, 'Ibu Kos, mana lemari gede yang kau janjikan padaku?!' Belum juga gw tanya, Ibu Kos udah bilang duluan, 'Makasih ya, udah ajak temen nginep sini. Itu besok lemarinya saya ganti yang gede deh'. Mungkin dia takut ngeliat kebaya ijo dan sanggul penuh melati gw.

Dan kita tahu sekarang, siapa yang ketawa terakhir. Gw pastinya. Sehari setelah Nguin balik, lemari setinggi hampir 2 meter sudah terparkir manis di kamar gw. Dengan batang buat gantung hanger. Dengan laci untuk kaos kaki dan dasi. DENGAN KACA 3/4 BADAN! Awww..... Orgasme! This is hot! Fire, baby! Fire! Gw ngerasa hidup gw lebih lengkap. Kaca kamar mandi harus rela gw selingkuh. Tenanglah, wahai Kaca Kamar Mandi. Gw janji. Sex, occasionally.



Yea. Who would need a mirror if she's around.

Thursday, May 15, 2008

Ardhan? Chanthik. Yea

Inget komentar gw soal Ardhan FM? I finally decided to change my mind, cause it turned out eventually they DO have something to listen to. Bulan ini, Ardhan bakal ulang taun ke 18. Ibaratnya cowok, udah boleh nyetir, minum dan menghamili. Dan bukan dalam rangka menghamili, mereka menghadirkan 18 Celeb Cantik Invasion buat siaran sejam selama 18 hari!

Well, delapan belas cewek, sebenarnya. Secara Kirana Larasati bukan celeb [D-list!], dan Ardina Rasti gak cantik [Theo dilarang protes]. Sisanya, you name it, they got it. Cathy Sharon, Rianti Cartwright, Sandra Dewi, Laudya Bengek Bella, Velovexia, Sheila Marcia, Mulan Orang-Ketiga-Paling-Seksi Jameela, Agnes Go-International-by-2015 Monica, and of course, the one and only, the mastermind behind eleventy million new catchphrases in Indonesian vocabulary: Cincha Lawrahhh!!!!

Setelah bulan lalu hadir dengan Tips Cantik Menurut Zodiak, bulan ini Cincha hadir dengan 'Chanthik Menurut Chintha Adhalah…'. Dengan demikian, Ardhan has officially given you two consecutive months of entertainment [or pain, depends on your feeling about talking Barbie with fake accent]. Supaya orang-orang yang gak di Bandung juga bisa merasakan hiburan yang gw dapet, secara gw tampan luar dalam, dengan baik hati tungguin iklannya, gw rekamin, dan gw upload-in Mp3-nya. Sok atuh...

Dan, dalam kasus Anda tidak perduli untuk denger MP3nya [takut kuping rusak], ato koneksi internet Anda suka macet atau terbatas, gw makin baek hati lagi. Gw kasih verbatim transcriptnya! [Baik hati ato kurang kerjaan?]

105.9 Ardhan FM. Hai insan muda!. Nama akhu Chintha Lawra Kiehl... Chanthik menurut Chintha adhalah…
CANTIK! Shi-E-En-Ti-Ai-Key….
Shi is… Cool
E is… Anonymous..
En is…. Nice
Ti is…Thralalalalalala
Ai is…..Invincible.. or Incredible
Kha… Katha orang-orang syih akhu chanthik. Akhahahaha
Semuanya bakhal chanthik di bulan ini, thermasyuk Chintha dan Ardhan FM.
Ardhan? Chanthik. Yea.

Saturday, May 10, 2008

150 ml of delectable elixir

Dalam rangka mengurangi jumlah penderita gangguan jiwa di Indonesia, gw cari sedikit hiburan. It's kind of ironic, that I barely watched DVD in Jogja karena waktu gw abis buat merawat Penguin. Sekarang, kos gw adalah Kingdom of Boredom. DVD jadi menu sehari-hari, and it bores me already. Jadi gw putuskan buat cari sensasi yang rada beda, nonton bioskop! [Duh, udik banget kesannya] Weekend lalu, gw niatin nonton Cloverfield.

Cloverfield adalah perpaduan Blair Witch Project dan Godzilla. Ceritanya standar film-film monster raksasa menyerang kota, tapi tokohnya ngerekam semuanya pake handycam. Jadi bakal kerasa banget goyang-goyangnya, bahkan dilaporkan beberapa penonton jadi vertigo. Yay! Gw musti ngetes ketahanan sistem keseimbangan gw! Kalo perlu bawa Mertigo buat jaga-jaga.

Selain itu, formulasi monster + kamera hand-held jauh lebih pas daripada kamera hand-held + monster nyanyi dangdut + skenario Monty Tiwa di Mendadak Dangdut. Kesimpulannya, it's a must-see!

Sayangnya, secara Cloverfield udah agak lama diputer [dan kayanya ga masuk Jogja], tinggal 1 boioskop di Bandung yang muterin. Abis ngecek 21cineplex.com gw nanya ama Rini, temen kerja gw.
'Rin, Jalan Alun-Alun Timur jauh ga? Mo nonton bioskop ni.'
'Ga jauh sih. Naik angkot yang ke Gede Bage. Serius ni mo nonton di Palaguna?'
'Iya, abis cuma tinggal di sana aja diputernya. Di tempat lain udah abis. Kenapa emang?'
'Gak sih, ati-ati aja. Kata temenku suka ada kecoanya.'
'Ow... Di Jogja lebih parah lagi, kadang ada tikusnya.'
'....' [Dia kehabisan kata-kata dan bersyukur ga tinggal di Jogja']

Jadi, gw pun persiapkan segalanya dengan matang. Menurut situs, film bakal mulai 17-30. Jadi gw bobok siang dulu, baru berangkat 16-30an, dengan perhitungan satu jam lebih dari cukup buat perjalanan. Sayangnya, perkiraan gw salah. Macet abis di King's Plaza. Angkot sempat bergerak dengan kecepatan 2 meter/menit, sampe akhirnya nyampe di Alun-alun 17-20.

Konon, mothers know best. Dan ternyata, sore itu Rini knows best. Masuk ke kompleks Palaguna gw langsung ngebatin 'Ya Tuhan, ini gudang apa plaza?' Yang gw liat adalah sisa-sisa kejayaan Palaguna sebagai tempat belanja [pada masanya]. Tampak counter Dunkin yang ditutup. Ruko-ruko tak berpenghuni. Eskalator ga nyala. Debu di mana-mana. Gw berkesimpulan, 'This is as creepy as hell. Pasti kalo malem hantu-hantu yang punya toko pada gentayangan'. Dengan langkah tak menentu gw naik ke Lantai 2, yang untungnya menunjukkan tanda-tanda kehidupan sebuah bioskop.

Beli tiket. 'Pak, mo beli yang Studio 4!' Si Bapak dengan gugup langsung cari tiketnya, kasih ke gw. 'Langsung aja Mas, tadi mulainya jam 5!' Gyaaa.... Situs laknat! Gw buru-buru beli Coke, trus dianter masuk. Kalau pemandangan di lantai 1 adalah layaknya rumah non-permanen di bawah jembatan, koridor ke arah studio tampak bagaikan istana presiden. Dimly lit, dengan tembok kaca. Gw banget... Gw dikasi tunjuk pintunya, dan masuk. Baru duduk, gw langsung keluar lagi, secara yang ada di layar malah Ramon 'Raja Monyet' Tungka. Eits! Kok malah Tali Kolor Perawan? Gw keluar, protes ke si Bapak dan dikasi tunjuk studio yang bener.

Studionya 11-12 ama Mataram, dan kayaknya Mataram yang 12-nya. Keunggulan Studio 21 Nusantara Palaguna dibanding Mataram cuma 2. Pertama, kursinya lebih enak DIKIT. Kedua, jadwal film bisa diliat di situs [meskipun ngaco]. Selebihnya, parahhh!!! Kepekatan bau apek di udara jauh melebihi Mataram. Tata suara keresek-keresek ga enak didenger. Langit-langit pendek, ga cocok bagi penderita klaustrofobia. Dan yang jelas, tidak ada nilai nostalgis seperti pada Mataram [ehem...]. Kesimpulannya, ini bioskop maksa banget masuk jaringan 21.

Filmnya keren! Semua tampak natural, dialog khas teen flick, dan monsternya keren untuk ukuran monster. Sayangnya, gara-gara telat dateng ketipu situs, gw melewatkan adegan putusnya kepala Patung Liberty. Total durasi dari gw duduk sampe film kelar adalah... 35 menit. Ah sudahlah, balik saja. Sebelum balik, gw pipis dulu. Dan ternyata, pintu ke arah toilet kehubung ama pintu ke Studio 3. Plus, ga ada petugas yang nungguin! Gw liat beberapa rekan penonton niat masuk ke Studio 3, tapi langsung keluar lagi. Mereka ogah nonton Kun Faya Kun. Ya iyalah, kaya ada yang mau aja.

Studio 1 muterin Tarix Jabrix, dan gw lebih ngerasa terganggu daripada terhibur ngeliat muka Tria Changcut. Dan ide buat ngeliat Pocong Perssik bukanlah ide cemerlang. Pulang!!! Lega rasanya bisa keluar dari Palaguna, tanpa vertigo lagi. Udara di sekitar alun-alun jauh lebih segar dan bebas apek. Banyak barudak Bandung nongkrong di Alun-Alun, tapi kayaknya ga banget kalo gw nongkrong sendiri. Bisa-bisa ditawar tante girang. Gw langsung naik angkot Elang-Cicadas, dan untungnya dalam 20 menit gw nyampe di deket rumah. Secara masih setengah 7, mampirlah gw di warnet. Browsing dikit soal Cloverfield, dan mengupdate gosip bersama Queen of All Media.

Besoknya, gw masih dendam. Pengen nonton film lagi! Sekarang Iron Man jadi pilihan, dan untungnya masih diputer di mana-mana. Studio 21 BIP jadi pilihan. Tapi kali ini gw yang bego. Seinget gw film maen 17-30. Begitu gw liat lagi, monyet, ternyata jam 16-50. Bangun tidur langsung buru-buru mandi. Jam 4 gw udah di pinggir jalan nungguin angkot di samping gerobak siomay. 5 menit, berlalu begitu saja. 10 menit, gak ada juga angkot jurusan Dago. 20 menit, Mamang Siomay mulai bersimpati 'Emang lama nunggunya, sabar aja Mas'. 30 menit, Mamang Siomay menyarankan gw nunggu di deket kantor aja, katanya lebih banyak lewat sana. Tapi mencapai Dago dalam 20 menit adalah mission: impossible, dan gw kadung pundung. Mending ganti lokasi mangkal. Abang Downey Jr, besok-besok gw nontonnya!

Tempat tujuan berikutnya diputuskan. Ke Bandung Trade Center, trus mo ke tempat yoghurt yang direkomendasikan Bapak Mak Nyus. Untungnya, angkot jurusan Sarijadi langsung dateng. Seperempat jam kemudian, gw nyampe di BTC. Keliling-keliling, beli barang-barang remeh temeh tapi penting [?]. Trus keluar, ke Odise, tempat yoghurt Perancis.

Tempatnya kecil, nyempil di antara BTC dan Yogya Dept. Store. Gw masuk, disambut kulkas berisi yoghurt, dan bungkus-bungkus makanan kecil di rak. Selain karena yang punya bule Perancis, gw ga tau kenapa namanya Odise French Yoghurt. Setau gw yoghurt di mana-mana mah sama aja. Mo yoghurt Rwanda, Guatemala ato Cisangkeuy, semuanya sama: asem. Tapi, berdasarkan petunjuk Tetua Kuliner Bandung, Odise ini beda. Teksturnya mirip vla, dan asemnya pas. Hm.. Musti dicoba. Ada dua kemasan, cup 150 ml 4 ribuan, dan 1 liter [gw lupa harganya]. Ada juga yocktail (yoghurt cocktail), campuran yoghurt dan potongan buah. Gw pilih yoghurt vanilla dan blueberry buat dibawa pulang, ama es kapucino buat di jalan. Trus langsung pulang!

Di rumah, another DVD night. Kali ini nonton John Travolta jadi emak-emak obese. Yoghurt Vanilla jadi teman nonton. Gw liat, kemasannya lucu. Font, warna dan tata letaknya bikin tampak mahal.

Dengan penuh ketegangan, gw buka tutupnya. Wangi Vanilla mulai kecium. Gw liat teksturnya emang lebih mirip vla daripada yoghurt biasa. Kentel, mirip eek bayi 7 hari yang kebanyakan minum susu. Haha, gak ding. Mirip Activia-nya Danone yang makanan surgawi ituh [Sori guys, di Jogja belum ada...].

Gw mulai sendok, masukin ke mulut. Lembut banget. Beberapa detik kemudian yoghurt lumer dan rasa asem menyebar. Asemnya lumayan kerasa, tapi wangi vanillanya enak banget. Sendok demi sendok, masuk ke mulut. Gw seperti ada dalam perjalanan ke Cloud 9 dan ga pengen balik. Kesimpulannya, ajaib. Honest to blog! Kayaknya Odise harus jadi tempat ibadah bagi para pemuja yoghurt....

Well, kekecewaan gara-gara bioskop ga mutu dan batal nonton Iron Man sedikit terobati dengan 150 ml yoghurt. Besok malemnya, gw coba my all-time-favorite flavor, blueberry sambil nonton Sweeney Todd. Cukup mengejutkan, Vanillanya lebih enak. Blueberrynya kurang kerasa, dan asem kali asem, jadi asem kuadrat. Masih enakan blueberry milkshake-nya DiDyPi deket Kanisius Deresan. Yang jelas, masih ada banyak rasa untuk dicoba di Odise! Strawberry, anggur, jeruk, coklat, lychee, pisang, mocca, gw lupa apa lagi, pokoknya buanyak. Yang jelas jangan harap gw coba yang duren. Mending gw disuruh nonton lagi di Palaguna.

PS: gw baru liat FS-nya Pak Bondan dan Gwen. Penggemar B2 juga dia ternyata....

calon penghuni IRNA III Sardjito?

Alter ego gw balik lagi! Setahun lalu, gw beraksi jadi psikiater gadungan buat Beruang Hitam Prambanan, dan menyatakan bahwa dia beresiko terkena gangguan jiwa. Sekarang, giliran Om Anton lagi liburan buat mengurangi beban mentalnya [dan mengembalikan lingkar pinggangnya yang menyusut], kayaknya sekarang gw harus periksa diri gw sendiri. Meskipun udah lama ga pake jas dokter, I'll be applying the same test on me untuk ngeliat seberapa gede stressor hidup gw. Okay. Self assessment begins!

Perpisahan ama Penguin 65 [okay, ini mestinya marital separation, tapi anggap saja begitu]
Pindah pekerjaan 29
Penyesuaian usaha 39
Penghasilan berubah 38
Pindah pekerjaan 29
Perubahan lingkungan hidup 25
Perubahan kebiasaan 24
Perubahan jam kerja 20
Pindah rumah 20
Perubahan kegiatan rekreasi 19
Perubahan kegiatan sosial 18

Munyung!!! Skor gw adalah 326! Stressor tingkat tinggi! Haduh. Haduh. In the verge of losing my sanity! Untung gak ada faktor predisposisi fisik kaya Om Anton [hai Om! Tensi berapa sekarang?]. Musti cari-cari info asylum. Kalo bisa yang ada foodcourtnya, kolam renang ama tempat fitnes. [Mas, situ nyari RSJ apa hotel?]

Gw bagaikan Atlas yang memanggul bumi di punggungnya. Musti cari cara buat menyalurkan beban kehidupan yang mendera, lest a shrink will diagnose me using DSM-IV. Sayangnya, handjob is perverted. Sayangnya, melepas stress dengan belanja adalah vicious circle [abis belanja, menangisi dompet yang menipis]. Dan sayangnya, tempat katarsis favorit gw harganya mahal gila di Bandung. Gw nanya ke NAV yang di Pasteur Hyperpoint, per jamnya 27.500 belum termasuk pajak 15%. Bandingin ama di Jogja, 18.500, plus pajak jadi 20ribuan. Huhu.. Ga lucu kalo abis karoke musti puasa 2 hari. Takut kurus hehe. Padahal pengen nyanyi With You sambil bayangin Nguin... [I need you boo, gotta see you boo]

Jadi, pilihannya cuma ada 3. Pertama, cari metode katarsis lain. Misalnya, blogging, teriak-teriak di Lembang, ato lari telanjang di Dago. Kedua, cari tempat karoke yang lebih murah. [Haha, tetep....] Ketiga, jadi gila.

Thoughts, anyone?

Anyway, it's a little relief, that even at high risk of getting mentally ill, I'm still kinda cute. [Plak!!!!!]

Thursday, May 01, 2008

modern tale of a guy with emo eyes


Way up in a mountain, in a small town,
the night sky was clear, six more hours to the breaking of the dawn.
Down by the hill, not so far away,
a lonesome guy with emo eyes was sitting in dismay.



Then suddenly from nowhere, with no announcement,
appeared a tiny three-colored, short-legged creature.
The guy with emo eyes frowned in puzzlement,
popping out from nowhere is not such an arrival procedure.



The guy with emo eyes was even more displeased,
his emo eyes bulged out.
He gasped as the little creature gave him a kiss,
but to stop her he got no guts.



It turned out the kiss was intimate and delightful,
that the guy with emo eyes decided to reply her endearment.
He stopped acting to be cool,
kissed her on the lips to full excitement.



Minutes later the guy with emo eyes gawked, he said 'WHAT?!',
the cute little thing turned out to be a robot!



It took no rocket science to find out,
that the little new fella was a fingernail-cutting robot.
On the guy with emo eyes's desktop the little bird dwelled later,
and they both lived happily ever after.

Secara Penguin ga ada di Bandung, toy Penguin is the new black!


PS: no eyeliner pencils were utilized during the making of this story. Nyet, foto ke-3 kaya hantu The Grudge....

ternyata gw masih manusia...

Idih! Mas-nya memang cerewet. Kayak ga pernah salah aja. I mean, it was just a typo [and you need to suck your lipo, haha].
Being a divine masterpiece, an apotheosi of beauty, such error should take place to make me more like... human. [Haha. Ngeles, bok!]


Ngemeng-ngemeng soal typos, gw punya yang lebih parah. Kemarin gw baru update CV, dan mata gw terantuk pada sesuatu yang janggal:
November 2006 - March 2008: Assistant Consultant for Division of Policy and Health Systems Development, Pubic Health Development, School of Medicine, Gajah Mada University.

P-U-B-I-C Health! Jadi selama satu setengah tahun gw sudah berurusan dengan kesehatan pubic region, alias daerah sekitar selangkangan. So let's say I had to deal with pubic hair [i did trimming and waxing!], pubic rash, pubic blotches, dan teman-temannya. Parah.... Ternyata satu karakter L yang ketinggalan mengacaukan segalanya. Pantesan lamaran kerja yang dulu-dulu ga ditanggepin. [Hoho. Buruk CV, typo dibelah]

Mumpung lagi ngomongin publik-pubik, di Jakarta ada aturan 'no smoking in PUBLIC areas'. But I don't think smoking in PUBIC areas is against the law. [Hush, rusuh, rusuh..]

Plus, gw baru kepikiran satu typo yang kayaknya seru.
'I've been dating countless women'.
Try dropping the 'O' in 'countless.
Ahahahaha. Udahan ah. Daripada Simpleshak diblokir gara-gara menampilkan konten 18+.