Friday, March 23, 2007

dokter juga manusia

Kesakitan berulang gw memunculkan pertanyaan dari
orang-orang sekitar, 'Dokter kok sakit mulu?'
Dan saya, dengan naluri seorang self-defender dan kemampuan fast-thinking menjawab, 'Dokter mati juga banyak!
Ayo kita nyanyikan sama-sama: -pasang wig Candil Seurieus-
'Dokter juga manusia
bisa sakit bisa mati
jangan samakan dengan pisau operasi...'


Wednesday, March 21, 2007

an unordinary Saturday


Sabtu siang. Udah hampir jam 12. Everyone started packing their stuffs, ready to go home with big plans for the long weekend. It was just an ordinary Saturday. Except that it’s not.

Tepat jam 12, jantung gw dibikin jedug-jedug dengan kalimat indah, ‘Ishak, gantiin aku ngajar SPSS buat anak-anak PSIK ya. Aku rapat nih. Cuma pendahuluan kok, nanti selesai rapat aku langsung ke sana.’ Oh, hebat! Rencana menghabiskan Sabtu siang bersama Beyonce dan DVD Dreamgirls, dan tidur siang musnah sudah. Gw langsung siap-siap review dasar-dasar statistik dan SPSS. Jelas gw kelabakan. Secara, setahun lebih gw gak buka SPSS, apalagi maen2 analisis. Secara, abis diinstall ulang kemaren laptop gw belum dikasi SPSS lagi. Secara, gw baru dikasi tau jam 12 padahal sesi pelatihan dijadwalkan jam 12. Setelah briefing that was literally very brief, gw nekat ke Lab Komputer Radioputro dengan bala bantuan bernama Hidemi yang juga terpaksa nunda rencana akhir pekannya. Sori, Dem.

Overall, sesi berjalan lancar [menurut gw], meskipun di beberapa bagian emang gw agak ngasal. Yang penting dengan senyum dan jaim semua teratasi. Artis gitu loh. Yang jelas, gw berhasil isi waktu sampe Bos dateng dan menyelamatkan semuanya. Dan Sabtu gw pun kembali berjalan semestinya. Syukurlah



-set Ariel' nasal voice mode- Ada Apa Denganku?

Huh. Si jagoan tampan kembali terkapar lemah tak berdaya. Untuk kesekian kalinya di tahun ini, demam menghajar gw abis-abisan. Ini menimbulkan satu tanda tanya besar di kepala: -set Ariel’ nasal voice mode- ada apa denganku?

Kalo diitung-itung udah ada 5 kali gw sakit tahun ini. ISPA, gastritis, ato sekedar sariawan yang menyulitkan gw kasih senyum supermodel ke penggemar. Terakhir, ISPA yang meluluhlantakkan imunitas gw sampe gw gak bisa kemana-mana minggu lalu. Gw harus setia dengan tempat tidur, my lousy-yet-lovely sweater dan kaos kaki. Harus minum antibiotik lagi [padahal belum ada sebulan gw minum cipro], dan minum parasetamol 5 kali sehari. Tentunja, ketidakbisa-kemana-manaan gw membawa banyak konsekuensi.

1. Gak bisa ikutan ramein anak-anak yang lagi tandingan di Kotex Tour de Future. Well, meskipun gak banyak berkontribusi [tapi ikut syukuran kemenangan di Pizza Hut], kehadiran seorang model pria cebol kan setidaknya bisa mencerahkan mereka yang berpeluh lelah. Tapi paling tidak, gw jadi ga harus nonton Letto di malam finalnya. Seenggaknya my ears were saved.

2. Gak bisa ke Boshe untuk kedua kalinya. Dua undangan gratis melayang begitu saja gara-gara gw bed-bound dan takut gak bisa bangun keesokan paginya. Tapi gakpapa, seenggaknya it saved my money dan ingetin gw kalo kebanyakan azeb-azeb tidak baik bagi kesehatan dan dompet.

3. Gw jadi harus bersusah-payah menahan lemes berkendara ke Jambusari buat kasih birthday surprise buat Mia the Penguin. Yang ini udah gak bisa ditawar-tawar lagi, secara hampir seminggu gw lupa kalo dia ultah, masa gw gak ikutan kasih birthday surprise. Daripada dikutuk jadi beruang kutub buat nemenin dia di Antartika, mending gw kuat-kuatin ke sana. Untung pulangnya disupirin Upik Babu.

Terlepas dari semua konsekuensi yang menyebalkan dan membuat saya mengumpat, sakit ternyata bawa konsekuensi yang asik-asik juga.
1. Gw jadi diperhatiin temen-temen. Senangnyah… Ditengokin Om Anton yang bawa roti bakar blueberry, gak harus diganti pulah. Bisa suruh-suruh Upik Babu sepuasnya. Sayangnya, my being sick gak bikin si Upik berbelas kasihan dan segera bayar utangnya ke gw. Tragis. Upik tak tahu diuntung.
2. Nyokap gw jadi terpaksa datang ke Jogja tengokin anak tirinya. Well, meskipun gak sama bokap dan gak nginep, lumayan lah. Seenggaknya nyokap gw jadi inget kalo masih punya anak yang tampan tapi ditelantarkan di Jogja. Keuntungan pun ganda, secara pastinya nyokap meninggalkan beberapa lembaran rupiyah yang cukup menebalkan kembali dompet gw.
3. Bisa pulang kantor duluan, meskipun cuma sekali. Salah satu kenikmatan yang menyertainya: bisa nonton Diana dalam Berita, yang seumur-umur baru 4 kali gw tonton. Sialnya, giliran gw bisa nonton kok ya si Olga malah lagi gak lucu. Menyebalkan.
4. Gak bisa ke gym. Jangankan angkat barbell, angkat gayung buat mandi aja kewalahan.

Oke. Kembali lagi ke pertanyaan tadi, kenapa akhir-akhir ini gw sering sakit? Mungkin jawabannya:
1. Terlalu banyak bepergian dan begadang. Gw males jelasin, tapi kayaknya gaya hidup yang ini belum bisa diubah untuk sementara. Long live nocturnal life!
2. Kantor gw adalah sarang virus. Bukan cuma virus komputer yang berkeliaran seiring peredaran bebas flash-disk di dalam kantor, gw sinyalir keberadaan 2 AC, kurangnya peredaran udara dan tidak adanya exhauster di kantor juga bikin virus [dalam arti harafiah] berkeliaran dan rajin mengerjai gw. Hal ini masih ditambah parah dengan keberadaan Bu Wiana yang gantian sakit ama gw. Hari ini gw sakit, besoknya dia ikutan. Kapan-kapan dia sakit duluan, gw yang nyusul. A vicious circle, meskipun pada dasarnya gw bukanlah orang yang vicious [ngakunya…].
3. Jangan-jangan gw terinfeksi HIV atau semacamnya. Tapi pikiran ini gw buang jauh-jauh secara gw gak inget telah melakukan tindakan beresiko atau semacamnya. Lagian, berat badan gw gak pernah berkurang akhir-akhir ini. Kalopun turun 1-2 kilo, langsung naik lagi. Jadi hipotesis ini salah besar. Syukurlah.
4. Kebanyakan dosa. Entahlah. Aneh, tapi mungkin masuk akal juga.

Yah sudah lah, apapun alasannya, sakit tetep bawa hikmah. Kalo gak pernah sakit, gw gak bisa syukurin enaknya sehat. Tapi kalo harus sering-sering sakit, ogah aja.


Thursday, March 08, 2007

Mizone, dengarkan ini!


Kalau saja the Coca Cola Company sebagai produsen Mizone cukup jeli, mereka bakal jadi sponsor buat ketiga film Alejandro Gonzales Innaritu. Secara, diperlukan 100% konsentrasi buat nonton film-film ini.

Berdasarkan pembelajaran bahasa Spanyol gw yang dihentikan hanya dalam beberapa minggu, Amores Perros berarti Pencinta Anjing. Bukan Irwansyah dong. Salah satu karakter kunci di film ini emang asuphilia alias pencinta asu. 21 Grams berasal dari entah-mitos-atau-fakta bahwa saat seseorang meninggal, bobot tubuhnya berkurang 21 gram, dan seberat itulah jiwa manusia. Babel menceritakan tentang kekacauan yang menyatukan orang-orang di beberapa belahan bumi. Agak maksa sebenernya kalo mau disambungin ama kisah Babel dari Kitab Kejadian.

Pada dasarnya, ada beberapa hal yang sama pada ketiga film ini. Pertama, jalan cerita yang acak, seakan mengajak penonton bermain puzzle untuk menyusun kerangka waktu dalam cerita. Dalam Amores Perros, sekuens cerita dibagi cukup jelas, seperti pada Berbagi Suami, dengan satu peristiwa yang menyatukan karakter-karakter. 21 Grams sangat semena-mena secara susunannya acak-adul dan bikin gw bersyukur menontonnya di VCD karena bisa semena-mena juga fastforwarding and rewinding. Dalam Babel, Innaritu dan script-writer Guillermo Arriaga berbaik hati dengan tidak terlalu mengacak-acak jalan cerita. Kedua, di tiap film ada satu peristiwa yang menyatukan karakter-karakternya, dan entah bagaimana peristiwa ini selalu berhubungan dengan kecelakaan di alat transportasi darat dan menampilkan banjir darah. Ketiga, film-film ini mengajak kita ngeliat dari sudut pandang masing-masing karakter, bagaimana satu peristiwa bisa berdampak berbeda bagi banyak orang. Di Babel, untuk ngebantu rasain apa yang dirasain gadis Jepang bisutuli di sebuah diskotek, tiba-tiba musik dan suara dimatiin. Keempat, akting keren dan alami para pemain. Lupakan Mr.Angelina-Jolie atau Pria Terseksi Dunia Menurut People, di Babel Brad Pitt tampak buruk rupa, lelah, kumel dan tua.

Kalo gw bilang, Babel adalah versi eksklusif (baca: big-budgeted) dari kedua film sebelumnya. Secara, syuting dilakukan di empat negara, dengan empat bahasa. Lebih ekstrem dari Crash yang menampilkan berbagai ras di satu kota aja. Sayangnya, karena kebaikan hati Innaritu tadi, di pertengahan film I was like ‘ayolah buruan, apa yang menyatukan semua orang ini?’, dan keluar dengan ‘Heh? Gitu doang?’. However, tidak sedikit pun gw ngerasa rugi keluarin 20 ribu buat nonton-tidak-hemat.

Anyway, kalo disuruh urutin ketiga film ini, I’d say that Amores Perros is one I like the most, and Babel being the least. Tapi buat gw there’s always room for such movies, yang ajakin kita ngeliat satu hal dari banyak sudut pandang. Cukup mengerikan bagaimana hidup ternyata bisa sangat misterius. Innaritu, gw tunggu film berikutnya.

they're literally loco


Band yang ini emang pinter pilih nama, secara buat gw only one word exactly describes the band: Loco a.k.a Guokil, jo….

Saint Loco termasuk salah satu pelakon industri musik Indonesia [mampus, bahasa gw…] yang beruntung bisa mengambil hati gw pada pendengaran pertama. Not even Agnes Monica made it [lha iya lah, pertama kali dia nyanyi ama Eza Yayang].

The first single I heard was Microphone Anthem, that made me rush to Studio One for mp3s of the whole album. Lagu ini sempat dicela oleh Kungpow Chicken karena dianggap ngejiplak lirik Be Myself, Be Microphone-nya Run DMC, tapi disanggah dengan alasan mereka udah urus ijin ke record company-nya dan the song was eventually attributed to the deceased oh Jam Master Jay of Run DMC. Speaking of the first album, it rocks! Kecuali kenyataan bahwa salah satu track yang konon sempet merajalela di radio-radio Bandung, Hip Rock, diambil Richard Buntario for his bad movie, Bad Wolves.

Saint Loco mengambil format Linkin Park: 2 gitar, 1 bas, 1 drum, 1 DJ, 1 MC dan 1 vokalis, and is much influenced by the band, tapi tidak terdengar terlalu Linkin-Park-wannabe seperti band ecek-ecek bernama Rebek beberapa tahun lalu. Ga bisa disangkal bahwa salah satu elemen yang bikin live performance mereka ngangkat adalah Joe the vocalist, yang suara jernihnya bisa berubah menjadi sangat metal di bagian-bagian lagu tertentu.

Album kedua, Vision for Transition dirilis dengan single Kedamaian that featured the easy-to-recognize-voice of Astrid. Single ini segera nyantol di kuping. Sayangnya kemudah-nyantolan ini tidak terdapat di banyak track. None is as radio-friendly as Kedamaian. However, Kudos for their efforts exploring the music. Banyak bebunyian string. Intro Nu Life sounds like Bali Lounge. Bahkan ada satu lagu, Transition, yang instrumen doang.

Saint Loco dan Kungpow Chicken pernah bikin gw berharap bisa kerja di Bandung, biar bisa sering nonton live show mereka. Tapi, giliran Saint Loco manggung di Jogja jadi bintang tamu Djarum Super Rock Competition, gw ga nonton. Alasan pertama, mereka manggung hari Selasa yang artinya gw harus kerja. Kedua, ini acara bikinan Om Log Zhelebour. So last decade, gitu lho. Ketiga, band paling najis Indonesia sepanjang segala abad, R*dj*, jadi bintang tamu juga. Jangan sampe gw niat nonton Saint Loco, malah dikira ngefans ama Samidjan Kasela dan Mulyadi. Amit-amit dedemit vomit.