Friday, April 27, 2007

Day 1: Singapore is not that perfect

Pagi-pagi buta dibangunkan oleh wake-up call dan alarm henpon. Sebenernya gak buta-buta amat, secara udah jam 6, tapi langit masih segelap jam 5 di Jogja. Gw jadi heran, kenapa waktu Singapore musti lebih maju sejam dari WIB? Kayaknya gak ngaruh. Oke, mandi dan jam 7 turun buat sarapan. Nyampe di coffee house, ealah pelayannya orang Jawa juga. Gw sebenernya di luar negeri gak seeehhh???

I’m still wondering that Royal Hotel gak ada di peta pusat kota, yang artinya hotel gw termasuk ndesa. Padahal 5 menit pake bus nyampe Orchard, 2 menit jalan kaki nyampe Novena Square. Baru gw tau kalo yang namanya mall atau shopping center ada di mana-mana, lha wong kantor Singapore International Foundation [lembaga baik hati yang mensponsori seluruh acara, tiket PP dan akomodasi kami], ada di Junction 8 Shopping Mall lante 9.



Gw di kantor SIF ampe sore. Diskusi ini, diskusi itu, sampe simulasi kuliah Family Medicine. Sempet presentasi pula dan bikin peserta lain bengong ‘Iki bocah ingusan saka ngendi? Kok ya pe-de...’. Cuek aja. Yang penting ganteng dan presentasi lancar.



Acara di kantor SIF nyampe jam 6 sore. Selesai? Belum! Kami musti balik ke hotel buat siap-siap ke welcome dinner. Untung aja dinnernya di Novena Square, di restoran Thailand-Chinese Magic Wok.
Dosen Unpad: jangan-jangan ntar abis makan kita jadi Magican.
Gw: Yah, asal jangan jadi Wok aja.

The food was awesome! Menu dibuka dengan fried platter berisi crab rolls, baby squids, pickled mango or such, dan sebagainya, juga tom yam kung terenak yang pernah gw makan. Selanjutnya? Nasi, ca kang kung, ikan, ayam pandan datang silih berganti. Dessertnya: puding mangga, yang sayangnya terasa artifisial. Tapi secara keseluruhan enak banget. Harganya juga masuk akal. Softdrinks cuma 2 dolar. Jus 2,5 dolar. Sama lah ama Amplaz. Oke, tujuan berikutnya: jalan-jalan, meskipun udah jam 9 lewat. Untung lantai paling bawah Novena Square adalah stasiun Mass Rapid Transport. Untuk pertama kalinya naik angkutan bawah tanah yang sesuai namanya, rapid dan untuk massa.

Kami ke Mustafa Center, pusat belanja di Little India yang buka 24 jam. Semua ada di sana, dari baju, parfum, sayuran, barang elektronik, sampe perhiasan. Ada 5 lantai untuk dijelajahi. Kepala ampe melayang, secara seharian belum istirahat. Untung sempet minum kopi lagi. Di resto India gw beli es kopimiks dibungkus [wakakaka]. Harganya? Hampir 4 kali es kopimiks di warung burjo Jogja. Acara belanja-belanji diakhiri jam 12, secara besoknya harus udah siap berangkat ke NUS jam 8. Pulang naik taksi, dan sopirnya keukeuh mencharge kami 15 dolar sampe hotel. ’Midnight charge, Sir!’ Secara belum pernah naek taksi dan gak tau patokan harganya, kami okein aja, toh bertiga ini. Udah hampir tepar pula.

Nyampe hotel gw nanya ke temen sekamar, ‘Lu tadi naik taksi bayar berapa?.
‘Gak nyampe 6 dolar.’
‘Kuncrit! Gw tadi kena 15 dolar, midnight charge dia bilang. Gak mau pake argo lagi’
‘Orang apa tu sopir?’
‘Chinese.’
‘Lhah, supir gw Chinese juga….’
‘Wuuu. Ya wis…’

Verdict: Singapura tidak sesempurna yang gw kira.

Jauh-jauh ke Singapore, lagunya Letto juga


Setelah mengurus paspor di tengah kesibukan membimbing K3M dan berjaga klinik, hari H-nya tiba juga. Saya berangkat juga ke Singapura. Not only that it was my first trip abroad, it actually was the very first flight ever for me. Oke, katakan saja saya ndesa. Rapopo, wong emang itulah kenyataannya. Carrie Underwood aja baru pertama terbang pas jadi finalis Idol [cari temen..... hehe].

Penerbangan pertama gw sebenernya bukan ke SIngapore, tapi ke Jakarta dulu, secara harus ikutan Predeparture Discussion dulu di Depkes, Kuningan. Begitu turun di Cengkareng, satu yang gw inget: Rangga dan Cinta.

Gw emang cecunguk kecil. Kalo kemaren temen-temen gw ke Depkes buat ngurus Surat Ijin Praktek dan semacamnya, atau kirim lamaran buat PTT, gw langsung menuju Ruang Rapat Biro Pelayanan Medik Dasar, to see the Director herself, along with pejabat-pejabat dari IDI, Dinas Kesehatan, dan dosen dari berbagai FK. Sempet makan sate ayam pula di Ruang Rapat. Cecunguk sekali saya ini. Di Depkes gw menyadari ketololan pertama: charger laptop dengan indahnya ketinggalan di depan tivi. Bodoh! Bodoh!



Acara di Depkes cuma ampe jam setengah 1 siang, secara musti segera ke Cengkareng lagi. Bayar fiskal, urus imigrasi dan semacamnya, sampe akhirnya tenguk-tenguk di gate E5 bersama seorang Profesor dari UI yang pake tas keren banget [pengen....]. Akhirnya, berangkat!

Sempet tidur di pesawat, sampe akhirnya dibangunin buat makan. Minumnya? Tetep, es kopi. Akhirnya nyampe juga. Mau gak mau gw langsung kerasa kalo gw gak sedang di Indonesia. Lha wong belum mendarat aja udah keliatan bedanya. Dari atas Singapore tampak seperti deskripsi U2: the City of Blinding Lights. Turun di Changi, langsung kerasa njomplang. Cengkareng jadi tampak uwuh.... (apalagi Adi Sucipto) Keluar airport lagi-lagi tertegun dengan tata kota dan kebersihan jalan, juga bagaimana mereka tetap mempertahankan pepohonan meskipun gedung-gedung begitu menjulang. ’We don’t have many land, so we have to build the houses upward, and to make it prettier, we play with structure and architecture,’ Lydia, chaperone kami jelasin. Itulah kenapa bentuk bangunan bertingkat tampak bervariasi dan tak lazim, dengan warna-warna cerah.

Akhirnya rombongan nyampe di Hotel Royale, Newton Road. Takes only 5 minutes by bus to the famous Orchard Road. Dan setelah mengutuk Indosat yang kehilangan sinyal di Gunung Kidul, di Singapore gw bernafas lega. Ada sinyal! Meskipun pake jaringan Starhub. Tapi seenggaknya bisa smsan ama yang di Jogja. Gw baru menyadari ketololan kedua gw: pulsa gw ga nyampe 6000, padahal sekali sms 3000. Alhasil, begitu sms Om Anton pulsa gw abis. Padahal gak bisa diisiin dari Jogja. Bodoh! Bodoh!

Malam dihabiskan dengan mandi dan menonton Idol di tipi kamar, secara mau ngenet di lobi mahal: 7 dolar per jam, yang setara dengan 12 jam berinternet di Jogja. O-i-a, gw sekamar ama dosen IKK dari UI yang sepuluh tahun lebih tua [dan dia masih jauh lebih muda dibanding peserta lain]. Tidur sambil dengerin radio. Jauh-jauh ke Singapore, lagunya Letto juga. Menyebalkan.

Hari pertama selesai. Ishak, pamit.

lucky is not the right word

Following 5'4"talled male model, rockstar-wannabe, absolute coffee drinker, another name should be attributed to me: lucky little bastard.
I know I'm not being nice lately. As my world changed, so did my standards and values of life. But after all the lies and stupid things, one thing I keep wondering is that He remains faithful. Door by door was opened, way by way was made, blessing by blessing was continually and abundantly sent, regardless of how bad I've been. Well, maybe lucky is not the right word. I am a BLESSED little bastard.


Suatu sore bos berkata: Ishak, siapkan paspor. Minggu depan kita ke Singapura.

Thursday, April 12, 2007

kejutan 2 kali

Asisten domestik gw lagi-lagi bikin kejutan! Dia bisa bikin brownies kukus! Gw bicara tentang brownies kukus beneran, yang bisa dimakan dan tidak bikin gw murus-murus keesokan paginya. Waktu gw bawa ke kantor, semuanya sepakat memutuskan ‘Enak’. Hmm… Cukup mendebarkan menantikan kejutan apa lagi yang akan dihadirkan si Upik. Kita tunggu saja.

Sekelumit percakapan Upik dan Majikan, masih seputar brownies.
Upik Babu: Kalo adikku sukanya pake brownies instan Powdan itu lho.
Majikan: Ralat! Merek-nya Pondan.
Upik: Ya itu lah, yang pake Ndan-Ndan. Itu kan lebih mahal, hampir 25 ribu per kotaknya. Apa tadi namanya, Bondan?
Majikan: Pondan, Mbang. Pake P.

Verdict: Sukses bikin brownies tidak meningkatkan kecerdasannya dalam berkata-kata.

PS: Gw terkejut lagi! Waktu mencoba Googleing ’Upik Abu’, aku mendapatkan ini.

baunya seperti Refresh

Sekali-kali promosi produk penjaga ketampanan ah.
Ini dia, Sunsilk Leave-On Conditioner. Hanya dengan 5400 IDR, Anda bisa mendapatkan 50 ml kondisioner tanpa dibilas yang melembabkan dan membuat rambut mudah dirapikan. Dan sesuai iklannya, TIDAK LENGKET!
Mantan fashion stylist gw [dulu, when i still needed one], juga merekomendasikannya.

Satu-satunya kelemahan produk ini adalah wanginya yang cukup kuat untuk tercium dari jarak 2 meter, dan aroma varian ungu Natural Straight Serum ingetin gw ama produk pengharum Refresh, yang iklannya pake lagu Fish Love ituh… Tapi apalah arti sebuah aroma, yang penting rambut oke.

Verdict: what are you guys waiting? Go to nearest store, and get yourself one.

Sesuatu terjadi sebelum nonton Jamie Cullum


Gw tidur-tiduran di kamar, sementara di ruang tengah adik gw tengah mengungkapkan pada nyokap tentang ketertarikannya pada bisnis yang dijauhi sebagian besar manusia waras. Basi. Mending tidur beneran. Menjelang jam 11, gw keluar kamar mendapati nyokap ketiduran di depan tivi, sementara adik gw dengan jumawa telah terkapar di kamarnya.

‘Mah, bangun! Mau nonton tivi. Aku mau pake karpetnya…’
‘…….’ Nyokap mengumpulkan nyawa selama beberapa menit. Kemudian, entah kesambet apa sang Ibu Tiri yang Tumben Perhatiin Anak Tirinya (ITTPAT) menanyakan sesuatu kepada Anak Tiri nan Tampan dan Baik Hati (ATTBH).
ITTPAT: Kamu kok gak pernah cerita ama Mamah? Gak pernah ada masalah, po?
ATTBH: [menatap tak percaya] I did, Mah. Tiap kali aku ‘minta’ [sambil mensupinasikan tangan], tandanya aku lagi ada masalah.
ITTPAT: Kok itu.... Lainnya?
ATTBH: [pengen segera nonton Jamie Cullum] Gak ada ah.
ITTPAT: Ya udah... [masuk ke kamar, Indosiar mulai tayangin Java Jazz 2007].

[cuplikan] Konser dibuka dengan lagu lama Frank Sinatra, I Got a Kick Out of You, di mana Jamie sesekali melakukan tendangan tanpa bayangan yang buat gw malah tampak bagaikan jurus anjing kencing. Stage act dan maen pianonya dahsyat! Gw sempet mengucek mata buat pastiin that it was a real turntable above the piano. Bandnya juga keren gila! Om-om itu pasti sangat cerdas dan beruntung, bisa mengimbangi kejeniusan The Sinatra in Sneackers.

Penampilan terbaik malam itu adalah pada lagu Twenty Something, which always been my favorite. Secara gw banget. Gw ketawa waktu dia ganti lirik ’I can’t even separate love from lust’ jadi ’I can’t even separate love and sex’ [Ini yang saya suka dari artis-artis Inggris]. Di bagian doo-dap-darap seluruh band beracapella, dan drummernya ngasih scat yang top, sementara Jamie dengan cuek lari ke penonton diikuti bodyguard yang kelabakan. Gw langsung ngelempar Buku Panduan K3M yang sesekali gw lirik selama nonton. Tidak ada yang boleh ngeganggu gw nonton penampilan segokil ini!

Kejutan terjadi saat Jamie dengan sembarangan menaboki pianonya, kemudian menyanyikan SexyBack, dimedley ama My Love dan [gw gak boong] PCD’s Don’t Cha! Lagi-lagi dengan nakal dia ganti lirik Don’t Cha jadi ’Don’t cha wis your boyfriend was short like me’. Penampilan yang ini sangat mengezutkan dan jelas mengundang teriakan membahana seisi gedung pertunjukan.

Kebodohan dilakukan kru Indosiar saat memasang judul lagu ’Mind Trick’ saat Jamie menyanyikan ’Frontin’. Waktu Jamie nyanyi ’Mind Trick’ beneran, malah ’Condom Sales’ yang dipasangnya. Hmmm... Condom Sales. Judul yang sangat provokatif. Mungkin di album berikutnya.

Kebodohan kedua Indosiar adalah saat dengan semena-mena menghentikan tayangan yang baru berjalan 50 menit. Kurang banget, Mas!!!!! Tapi gw puas banget, meskipun Buku Panduan K3M jadi tak tersentuh. Untung nyokap udah gw usir ke kamar, jadi gak ada yang ganggu gw lagi.

Ngomong-ngomong, kemaren gw sempet baca di Hai kalo Cullum kepergok di salah satu pub di Bali, bersama salah satu gadis dari keluarga yang terkenal menghasilkan cewek-cewek cantik [itu clue dari Hai]. Pikiran gw langsung tertuju pada keluarga yang itu. Gadis yang mana ya? Yang bingung pria mana yang menghamilinya? Atau yang baru aja berfoto topless? Hmm...

Saturday, April 07, 2007

Yang Lebih Muda, Yang Gak Dipercaya

Pertama ngeliat iklan A-Mild seri Tanya Kenapa yang ini, gw agak skeptis. Masa iya segitunya? Hari gini gitu loh. Gw gak percaya, sampe akhirnya gw alamin sendiri.

’Ishak, tanggal 2 April mulai bimbing K3M ya?’
Mampus. 2 April. Segitu cepatkah?
’Lho, katanya mau ada training DPF dulu, Pak?’, gw mencoba ngeles.
‘Trainingnya baru ada Juni. Ini sekarang perlu banyak DPF karena mau berangkatin kelompok yang integrasi ama PSIK dan Gizi. Tenang aja, ntar kalo ada apa-apa langsung tanya aja.’
‘....... Ya deh’
Dengan keputusan yang diambil kurang dari semenit tadi, terhitung mulai 2 April saya resmi jadi Dosen Pembimbing Fakultas. [plok plok plok plok!!!]

Kelompok yang harus gw bimbing ternyata kooperatif banget. Maksudnya, gw yakin mereka meragukan bahwa sosok berpakaian all-black + sleeveless putih yang ada di depan mereka adalah seorang dosen, tapi they tried hard not to show it. Mereka berusaha menerima [baca: pasrah terhadap takdir] bahwa DPF mereka bermuka Elijah Wood. Yang bikin tambah canggung lagi, ada satu mahasiswa PSIK angkatan 99, yang berarti mungkin 2 tahun lebih tua dari gw. Bleh.... Sudahlah mulai saja bimbingannya.

Overall bimbingan lancar-lancar aja, despite the fact bahwa gw baru terima modulnya sejam sebelumnya. Tapi masih ada tugas lain: nganter anak-anak ke lokasi K3M di Panggang, Gunungkidul. Weleh! Gw langsung bayangin bakalan dipanggang selama beberapa jam dalam perjalanan menuju Panggang. Secara Gunung Kidul kan panas banget. Daripada ketampanan dan aura artis gw luntur, mending persiapan ekstra!

Bangun pagi, mandi dan keramas dengan rangkaian produk Johnny Andrean. Keringin rambut, pake baju yang resmi. Sudah tampak seperti model, oke, siap berangkat!

Bujubuneng, KPTU kampus udah penuh banget. Ada 70an mahasiswa yang bakal diberangkatin. Ternyata kendaraan yang mendapat kehormatan mengangkut sang primadona adalah.... Sebuah ambulans. Bukan ambulans sembarang ambulans, ini ambulans baru sumbangan dari JICA. ACnya dem dem, ada kulkas pula di belakang. Gw duduk di samping pak supir yang namanya entah Mudi, Mudik atau Moody.

Sebelum ke Panggang, kami harus mampir di Puskesmas Prambanan ama Puskesmas Pathuk. Baru gw tau yang namanya Pathuk emang di puncak bukit. Jadi ngerti dari mana GCD FM, Radio yang Sebaiknya Anda Buang itu mendapatkan gaya siarannya.

Setelah berpuluh-puluh kilo, nyampe juga di Puskesmas Panggang 2. Rambut masih tertata rapi. Secara Kepala Puskesmasnya lagi gak ada, kami gak lama di Puskesmas. Langsung cabut ke rumah semang. Kami turunin barang, trus ngobrol ama induk semangnya. Rumahnya sejuk banget, banyak pohon jatinya. Jadi betah ngobrolnya. Secara udah siang, gw pamitan. Anak-anak gw tinggal dengan berjuta pesan.

Begitu gw nyampe jalan, MAMPUS! Ambulansnya gak ada! Gw jalan keliling-keliling, gak keliatan juga. Kutukupret, ilang beneran tu mobil! Gw balik ke rumah semang, minta dianterin ke Puskesmas. Kali aja ambulansnya nungguin di sana. Sampe sana, malah pegawai Puskesmas yang bingung, ’Lho, bukannya tadi ama Mas-nya ke rumah Pak Ngatimin?’ Sial. Gw beneran ditinggal. Dengan HP pinjeman, secara gw ga dapet sinyal, gw coba nelpon Koordinator Lapangan K3M. Bukannya dapetin solusi, gw didampratnya pula. Siyal 2 kali.

Berarti cuma ada satu solusi buat balik ke Jogja: naik angkot. Sekali lagi, gw pamitan ama anak-anak. Mereka malah kompakan, ’Pasti kamu dikira mahasiswa juga, Mas. Terus ditinggal pulang. Masih pantes soalnya.’ Asyem. Aku ingin segera pulang!!!!

Perjalanan pulang bukanlah sesuatu yang ringan. Kita sedang bicara tentang Panggang! 80 kilo dari Jogja! Gw musti naik angkot ke Terminal Panggang, baru naik bus ke Jogja. Sampe Terminal, gw coba kasih kabar lagi ke orang kantor. Kunyuk, belum dapet sinyal juga. Sinyal Kuat Indosat apaan? Musti cari wartel! Gw coba nanya ke tempat fotokopian, ’Mbak, wartel deket sini di mana ya?’ Mbaknya gak ngejawab, cuma nolehin kepala. Ealah, ternyata mbaknya punya wartel juga. Kelar nelpon, gw balik ke tempat bus. Celingak-celinguk kebingungan harus naik bus yang mana. Kayak-anak-hilang was the best to describe me. Akhirnya naik juga gw di salah satu bus.

Setelah total 2 jam di bus, berliter-liter keringat, sebungkus es teh, ongkos bus yang dimahalin [secara gw keliatan bukan orang Gunung Kidul] dan beberapa menit tidur, nyampe juga gw di Terminal Giwangan. Udah 2.30. Keringetan di mana-mana. Muka berminyak bagaikan martabak. Efek keramas tadi pagi sudah hilang sama sekali. Padahal gw harus jaga klinik sejam lagi. Gw gak kuat naik bus kota lagi. Musti cari angkutan lain. Taksi? Hmm, hari gw cuma bakal bertambah buruk dengan keluarin duit 40 ribu lagi. Ojek? Kedengeran masuk akal. Coba ke pos ojek, tawar-menawar. 15 ribu, deal!

Akhirnya gw nyampe juga di kampus. 1,5 jam lebih lambat dari seharusnya. Biarpun disambut orang kantor, gw udah terlalu capek buat bahas hal ini lagi. Mending pulang. Gw pengen dan perlu mandi.

Ternyata semua orang yang tau kesialan gw keluarin reaksi yang sama: ketawa. [Kunyuk]. Dan mereka semua sepakat: my 5-years-younger look was the one to blame, supirnya ngira gw mahasiswa juga. Gimana ya, emang dikasihnya muka kayak gini? Bos berusaha menghibur, ‘Harusnya kamu bangga, masih muda udah jadi DPF.’ Yea, whatever. Asal jangan kejadian lagi.

Okay. Pada akhirnya gw harus mengakui kalo agency iklan Ogilvy memang bener. Well, does anyone know how to temporarily look older?

Thursday, April 05, 2007

Apa Kata Dunia?


Euphoria tanggal muda bikin Mia the Penguin ngebet ngajakin nonton 300, yang udah diincernya berminggu-minggu lalu tapi belum kesampaian juga dengan alasan finansial [baca: budget buat nonton 300 kadung keluar buat Jakarta Undercover]. Secara konon filmnya worth-watching, boleh lah. Amplaz, we’re coming.

Kami datang dengan optimisme tinggi jam 18:55 buat nonton jam 7.
‘Jangan-jangan tiketnya abis, Mas’, optimisme Mia mulai luntur.
‘Gak ah, kan filmnya udah berapa minggu diputer’, gw berfikir positif.
Nyampe lante 3, Makjang….. Penuh amat yak? Kedua tungkai gw dan kedua kaki Mia [Penguins don’t have legs, do they?] langsung lunglai mendapati tulisan ‘tiket 300 jam 7 habis’ di ticket box. Ya wis, berarti belum rejeki. Rugi 1000 buat parkir. Masih in the mood of watching movie, kami ke Mataram buat Naga Bonar Jadi 2: Apa KataDunia?

Rasa haru menyelimuti kami mendapati film akan dimulai 8:15. Jadi masih ada waktu buat makan bakso iso Pak Sarjono Lempuyangan dan beliin Parto amoksisilin di Apotek Kenari.

Balik lagi ke Mataram jam 8:10, parkirannya rame! Mungkin banyak calon penonton yang senasib, keabisan tiket 21. Ada kali 100an penonton yang nonton bareng gw. Ada dua hal yang mengganggu gw sebelum film mulai. Pertama, bukannya nayangin trailer, di layar malah nongol iklan Directest: pengetes kehamilan berstandar internasional. Kedua, setelah biasanya puter lagu Ungu sebelum film mulai, kali ini mereka puter Samsons. Please deh. Dari cengkeraman singa ke mulut buaya. Keduanya mematikan.

Film mulai! Deddy Mizwar, seperti biasa bermain cemerlang, didukung tata rias yang bukannya make-up malah make-down. Karakternya idup banget, as if it was really made for him. Tora Sudiro starred as Bonaga [or was it Bau Naga?], yang merupakan duplikat Naga Bonar dalam versi lebih muda, berbaju keren, dengan I-Pod di tangan. Chemistry mereka berdua sebagai ayah-anak dapet aja gitu. Darius, Ully Herbinansyah dan Mike Muliadro cukup ngangkat peranin temen-temen Bonaga yang kocak dan selalu kompakan pake baju mahal kemana-mana [total dari aviator glass sampe sepatu kayaknya diatas 5 juta...]. Wulan Guritno? Aku selalu sukaaaa..... Lukman Sardi peranin supir bajaj ajaib, yang selain ngajar ngaji juga jadi dirijen paduan suara anak-anak, dan bawa La Tahzan-nya DR. Aidh Al Qarni kemana-mana. Ajaib betul... Ada beberapa cameo, Nico Something [yang jadi Maryam], Indra Birowo [jualan karpet], dan Sakurta Kipli Ginting. Dan Julia Perez yang hadir tanpa esensi.

Kekuatan utama film ini ada pada skenarionya. Gw ga nyangka nilai-nilai nasionalisme dan hormat pada leluhur bisa disajikan dengan sangat menyenangkan, bukan dengan cara historis selama 3 jam seperti dalam Gie. Naga Bonarlah satu-satunya film Indonesia yang bikin gw bisa ketawa ikhlas. Sayangnya, guyonannya terlalu lokal dan mungkin bakal susah diterjemahin kalo mau dibawa ke festival internasional. Beberapa lagu perjuangan dimasukkan sebagai sontrek meskipun agak maksa. But overall, the movie rocks.

Film kelar. Tahukah Anda lagu apa yang mengiringi credit title? Yak! Iwan Fals dengan Ijinkan Aku Menyayangimu. Again and again and again. Kayaknya dari jaman Belahan Jiwa lagunya gak ganti juga. Tapi who cares, secara perut kenyang, hati senang.

Verdict: Ternyata masih ada pahlawan film Indonesia selain Nia Dinata dan Kalyana Shira. Ngomong-ngomong, kalo nyari VCD/DVD Naga Bonar di mana yak? Jadi penasaran…

PS: Eh udah ada posternya Kala:Deadtime! Ini harus ditonton, secara ada Shanty...... Kalo sampe gw kelewatan, Apa Kata Dunia?

The days of darkness



Hayo, sekarang lagi musim apa?
Musim duren? Salah!
Musim bikin video panas pake ha-pe? Salah!
Musim Alatas? Salah!
Ini lagi musim bangkrut! Entah bagaimana, bangkrut melanda begitu banyak manusia (salah satunya gw) di akhir Maret lalu. Membuat kami menderita di bawah pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.

Bejibunnya aktivitas di kantor bikin sekretaris kantor lupa ngegaji gw di tanggal 28. To make it worse, Si Upik Babu tak kunjung balikin utang. Gw cuma bisa berterimakasih kepada Mama yang entah dengan sadar atau tidak, masukin beberapa rupiah ke rekening Mandiri. Anak angkatnya yang tampan batal mati kelaparan.

Nasib serupa melanda banyak orang di sekitar gw [sorry guys, gw bongkar rahasia biar kita malu sama-sama]:
Om Anton yang dalam masa pailit tetap harus bolak-balik Jogja-Prambanan,
Parto yang bela-belain minjem duit buat beli Kompas Sabtu secara ada lowongan kerjanya [tapi batal secara Sabtunya pas hari libur dan Kompas gak terbit, jadi duitnya bisa buat yang lain],
Ully yang saking bokeknya sampe gak punya duit buat bayar parkir Waroeng Steak,
Mia yang dalam kebangkrutannya tetap optimis bahwa dia bakal nonton 300 di awal bulan,
Dan Pipit yang kebangkrutannya gak terlalu dramatis secara tinggal ama 2 orang tua, 1 kakak dan 17 anjing.
Breakout kebangkrutan kali ini emang gila-gilaan. Tak ayal, salah satu dedengkot Kaum Hedo, Yumi, juga harus menderita gara-gara duitnya dipinjem adiknya buat bayar persiapan Koas.

Tapi itu semua cerita lalu. Tanggal 2 April kegelapan pun sirna. Fajar baru merekah membawa damai sejahtera. [opo to iki?] Sekretaris kantor akhirnya inget kalo gw harus digaji. Setelah megap-megap bagaikan louhan kena asma di luar akuarium, gw bisa bernafas lega. And for the guys as well, kayaknya dompet mereka juga udah menebal lagi.
Biar begitu, pengalaman traumatis akhir bulan lalu memunculkan bayangan gadis-gadis vulgar Pussy Cat Dolls di otak gw, menyanyikan, ‘I’m tellin you to tighten up your belt, babe [uh-uh], but you keep spending’.

Monday, April 02, 2007

they've been officially pimped

I’m taking you to see what few years and sophistication can do. Feast your eyes with exclusive photos of Kater in an episode of The Swan.

Dua wanita tuna rupa ini memang bikin gemes. Di sebelah kiri, Mia the Penguin, selalu tampil dengan baju gombrong tanpa menyadari bahwa badannya kurang tinggi 10 cm untuk semua pakaiannya, juga rambut tergerai layaknya Farida Pasha dalam Mak Lampir. Penampilannya membuat berbagai julukan diatribusikan padanya: Yu Beruk, Gelandangan, and even worse: Sampah. Di sebelah kanan, Arum Pranasari, dengan rambut keriting kongenital yang selalu diikat dan dibelah tengah. Selalu keluar rumah tanpa moisturizer [gila!]. Keadaan makin buruk dengan kecelakaan yang menanggalkan satu gigi molar di tengah atas [photos not available].

Dan beberapa tahun kemudian the Penguin turned out into this.

And this.

As for the Tompeyanese Celeng, she’s got more into fashion. Lebih hari ini.


Let’s move into another example, the local Andrea Sachs, my Upik Babu.

Liberalism and freedom of expression has turned this bocah desa dengan baju merek Niagara, into this.


What a blatant expression of his true self [?].

But less-dramatic changes occurred in these people below.

Gained many pounds in few years, and lost some phlegmatism. But he doesn’t really look different though.

As for this girl, she doesn’t seem to change at all.
Before:

After:

Well, in the end many things last long. Like my innocent look.

And us.

Teh Nia Dinata... we're dying!!!!

Apa yang bisa diharapkan dari nama-nama seperti Erwin Arnada, Joko Anwar, Lance, Luna Maya, Lukman Sardi dan Fachri Albar? You may expect a lot but all you get is two hours of craps.

Jakarta Undercover datang dengan bikin penasaran. Pertama, filmnya diputer di Jiffest doang sebelum akhirnya masuk bioskop komersil. Kedua, konon pengambilan gambarnya dilakukan tertutup banget buat ngejaga privasi Luna dan Fachri. Bahkan, hanya kru tertentu yang boleh masuk lokasi syuting mereka. Kedua hal ini yang bikin gw penasaran. Ternyata benar kata pepatah. Curiosity Kills the Cat, gw rugi 12.500 [kunyuk].

Akting dan castingnya just okay. Kapan lagi bisa ngeliat Fachri Albar jadi bencong? Lukman Sardi pas banget peranin anak pejabat yang suka pake bencong. Luna Maya? Gak suka ah (sentimen pribadi). Ada aktor Jepang yang ikutan main, Kenshiro Something gitu. Tapi gak penting. Tampang dan akting kaya gitu bisa didapet di pecinan aja, gak usah datengin dari Jepang. Ada juga anak autis androgynous yang bikin gw bingung secara kayaknya cowok tapi cantik dan namanya Ara. Cast lain? Namanya juga filmnya Lance, pasti banyak model: Laura Antoinetta, Aimee Juliet (another transvetite look model), Christian Sugiono. Cameos? Fauzi Baadilla, Mario Lawalata, Sita Nursanti. Oiya, jangan lupakan Hanung Bramantyo dengan lemaknya yang ke mana-mana jadi seorang male stripper.

Artistiknya lumayan. Tapi gw lebih suka Cinta Silver. Musik? No comment. Yang paling nggak banget adalah skenario-nya, yang secara mengejutkan ditulis oleh seorang Joko Anwar. Skenarionya busuk dan bikin gw merasa nonton sinetron selama 2 jam. Dipanjang-panjangin, mengada-ada dan begitu banyak hal irasional dalam film.

Gw keluar dengan gerundelan what the hell was that. Film yang aneh. Yang bikin gw lebih bengong lagi, gimana bisa film ini lolos sensor? Kostum dan tarian Vikitra dan Silver Boysnya yang vulgar. The F and the S word yang bertebaran sepanjang film. Adegan Lukman Sardi nge-fuck bencong. Nama Erwin Arnada, FPI’s #1 enemy, sebagai produser. Animals (goldfishes) were harmed in the making of the movie. Bagaimana bisa? Ini mengindikasikan patologisnya kinerja LSF. Ingat poster 9 Naga (film Rudi Sudjarwo) yang harus dicetak ulang hanya karena menampilkan udel Fauzi Baadilla? Ingat Pocong (lagi-lagi Rudi Sudjarwo) yang dengan semena-mena dilarang beredar sama sekali? Aneh.

Verdict: Well, ternyata memang tidak banyak yang bisa diharapkan dari film yang pake judul novel tidak bermutu Muammar Emka. Payah. Masa dari sekian banyak film Indonesia yang gw tonton tahun ini, cuma Long Road to Heaven yang memenuhi harapan? Teh Nia dan Kalyana Shira Film..... Kami perlu film-mu lagi.

it's worth it

Let’s analyze what a white plastic hairband costs and gives you.
It costs you:
1. Rp. 2000.
2. The embarassment of getting a ganteng-ganteng-beli-bando-plastik sight from mbak-mbak kasir. Tinggian, dong….. Ka-Sirrrr [secara TVC Hexos].
It gives you:
1. 5 minutes spare time in the morning karena tidak harus mengeringkan rambut dengan hair dryer. It holds my hair up during shower, so my hair don’t get wet kecuali saat keramas.
2. #1 is the only thing a plastic hairband gives you.

Verdict: I don’t know, but I think it’s worth it.

5 things I hate about my Yongki Komaladi black leather shoes.

1. Harganya yang 350 ribu. Kalo Matahari gak kasih diskon, gw akan berpikir 20 kali buat ngebelinya. Ehm, sebentar. Mungkin gw TIDAK akan membelinya.

2. Hak 3 sentimeternya yang berbunyi nyaring dan bikin gw merasa sebagai one of the Ellias Clarke’s clackers. Memang, kadang-kadang pekerjaan gw sekejam pekerjaan Andrea Sachs. Untunglah, begitu sampai rumah gw jadi Miranda Priestly dan Upik Babu yang jadi Andrea.

3. Berat! Ini sepatu paling berat yang pernah gw beli. Mungkin beratnya 3 kali sepatu Spalding item gw, yang keringanan dan kenyamanannya diakui oleh salah satu breaker dari Cats Dancers.

4. Brand namenya mengingatkan gw ama alumnus AFI yang tidak terlalu membanggakan gw sebagai rekan sejawat dan satu almamater.

5. Alasan gw beli sepatu ini dulu adalah untuk tampil keren saat wisuda. Yes, I did look good. Saat ini pun they still work for me. Tapi memakainya selama berjam-jam berkeliling kampus bikin gw pengen berhenti saat melewati tempat sampah dan membuangnya.

Verdict: apapun yang terjadi, I’m a keep wearing it, secara mahal dan ga ada rencana beli sepatu lagi setelah Nike coklat yang bikin Mama mencak-mencak ‘Stop buying shoes!’