Friday, June 23, 2006

Filosofi Ultah



Ada kalanya kesendirian menjadi hadiah ulang tahun yang terbaik. Keheningan menghadirkan pemikiran yang bergerak ke dalam, menembus rahasia terciptanya waktu.
[Dee, Lilin Merah/Filosofi Kopi, 2006]
Salah satu hal yang bikin gw pengen buru-buru balik dari Banyumas adalah the fact bahwa gw harus berulang tahun di Banyumas. Artinya, tanpa kehadiran keluarga dan temen-temen tergokil gw, karena adalah hil yang mustahal kalo Asmuni sampe nyusul gw di Banyumas. Soow, ucapan selamat yang biasanya datang dalam berbagai rupa itu hanya gw terima melalui telepon, baik dalam bentuk pesan atau phone call.
Secara udah bete, gw bikin mellow aja sekalian. Kebetulan 8 orang temen seper-koas-an gw ga ada yang ngerti kalo gw ultah dan gw sengaja ga kasih tau mereka. Pertama, karena pengen bermellow-ria. Kedua, alasan yang lebih realistis: gw ogah harus traktir mereka makan di Banyumas [cakep-cakep pelit…]. Ketiga, besoknya gw harus presentasi, jadi instead of bersenang-senang merayakan bertambahnya usia, gw harus terpekur di depan buku, bersandingkan segelas kopi dingin.
Well, akhirnya hari pun berlalu, diakhiri sms 2 piaraan gw yang emang sengaja kasih ucapan tepat sebelum hari berakhir. Ultah pun berlalu begitu aja, karena seperti kata Shakespeare, ‘What’s in a name?’, begitu juga kata Shak-peare ‘What’s in a birthday?’ Gw ogah resolusi apapun saat ultah karena buat gw resolusi bisa dilakukan kapan aja dalam setahun. Dan siapa yang bisa menjamin resolusi yang diambil saat ultah akan dapat dilakukan lebih baik daripada resolusi yang diambil tidak saat ultah? Toh satu hari tidak akan menyulap gw sebagai a brand new Shak.
Oke, lupakan soal ultah dan ke-mellow-annya meskipun gw masih mengharapkan kado-kado berdatangan. Ngomong-ngomong tentang Filosofi Kopi, buku ini membawa gw dalam beberapa jam yang menyegarkan, seperti halnya segelas kopi dingin. Nama Dee memang semacam jaminan mutu dalam kesusasteraan Indonesia. Belum pernah suatu karyanya, baik buku atau lagu, tidak memuaskan gw. Dee adalah salah satu penulis yang sangat peduli pada rima, dan grammar Bahasa. Gw cuma nemu satu kesalahan editing pada buku ini, suatu rekor untuk buku terbitan Gagas Media. Bisa jadi si editor makan gaji buta karena buku ini sebenarnya tidak perlu diedit hehe. Membacanya ditemani segelas kopi dingin di Griya Gizi Sardjito, dengan lagu Semua yang Terlambat-Marcell terngiang di kepala meskipun speaker kantin mengumandangkan Iyeth Bustami, was a few minutes that really made my day. Terima kasih Dee, terima kasih kopi.

No comments: