Thursday, March 27, 2008

Moviebox, take the wheel!

What don’t kill you can only make you stronger. Masih ingat puting nan tidak seksi yang meluluh lantakkan Bioskop Mataram [situasi dahsyat yang malah gw main-mainin]? Satu dari rangkaian bencana yang melanda Jogja itu sempat membuat Bioskop Mataram, salah satu has-been tempat favorit gw, jadi kayak gini:






Beberapa minggu kemudian, secara mengejutkan, mereka buka lagi! Tapi, seperti sudah diduga semua orang, beberapa bulan kemudian sudah ga ada banner film terpajang di billboard bawah Jembatan Layang. Tempat untuk info jadwal film di Kedaulatan Rakyat cuma dihuni Permata Theatre. Bioskop Mataram officially gulung layar. Dan film yang terakhir gw tonton di sana adalah The Photograph. Nonton Shanty at her best. Bersama Penguin. Kenang-kenangan yang manis dari Mataram.

Kita tahu the perpetrator untuk tutup bukunya Mataram: the [used-to-be] single-playing, market-driving, dominating monster. Sebagai satu-satunya pilihan, mau tak mau kami jadi sayang ama bioskop lima teater ini. Apalagi setelah diberlakukannya kebijakan nomat Senin-Jumat. Toh bahkan di kala Tidak Nomat, gw tau pemilik Kartu Kredit Mandiri yang bisa dimanfaatkan [mampus kowe tak publikasikan ning kene]. Jadi, jika jadwal dan dompet mengijinkan, Penguin dan Pawangnya roam around Floor 3 of Amplaz to catch some movie.

Tapi ingat, kunjungan kami dengan catatan: jadwal dan dompet mengijinkan. Dompet, secara harafiah jelas berarti tempat menyimpan uang yang kita taruh di saku belakang kanan; atau secara konotasi, it refers to your cash balance. Kedua, jika jadwal mengijinkan. Jadwal di sini bisa berarti jadwal gw dan Penguin yang kadang susah disatuin. Kadang gw pemotretan, dia tidur di rumah. Kadang dia latihan koor, gw mrongken. Tapi, jadwal juga bisa berarti jadwal film di daftar menu yang ditawarkan 21. Dan kadang jadwal film mereka bikin gw frustrasi.



Bleehhh!!! TIga minggu lalu, Ayat-ayat Cinta di 3 teater! Maaf kalo gw menjalankan presumption of crapness (praduga tak-bermutu), tapi buat gw satu-satunya daya tarik film ini adalah seseorang bernama belakang Cartwright. It’s not that I’m offending the storyline, or moreover, the values of the movie. It’s proven to be a good thing to digest for some people, anyway. Tapi denger judulnya yang lebai udah bikin tungkai gw lunglai duluan. Plus, sepertinya Rossa dan Ungu akan mengancam keselamatan kuping gw. Jadi meskipun tampaknya semua orang bereuforia menonton AAC, atau setidaknya bocoran yang beredar sebelum premierenya, gw dan Penguin keukeuh untuk ga menontonnya.

Situasi sempat membaik, saat AAC cuma diputar di 1 teater, dan gw sempet nonton Vantage Point. Kemudian nambah lagi jadi 2 teater, dan hari ini : jadi 1 teater lagi. Ini dia:



Beuh! Dengan hanya satu teater saja yang mainin AAC, ternyata tidak menjamin ada film yang layak dipilih. Lima film Indonesia. Satu drama percintaan. Satu komedi tidak penting. Dan tiga film yang meant-to-be-horror tapi kayaknya bakal jadi komedi. Beuh!!! Dying to know what Moviebox has in store for moviegoers…

1 comment:

Anonymous said...

gambaran sinema indonesia? cuih!
makan tuh IMA...
kali ini saya setuju dengan isi blog ini