Setelah tragedi pemotongan rambut di salon Iyan yang bikin gw berjanji gak bakal potong rambut lagi di sana, gw terpaksa menjalani profesi Pak Bondan Winarno. Bukan buat cicipin makanan sana-sini, tapi cobain satu per satu salon sampe akhirnya memutuskan salon mana yang potongan rambutnya Mak Nyus. Alih-alih ketemu salon yang cocok, gw malah mendapatkan kesimpulan bahwa orang-orang salon di Jogja perlu memriksakan diri ke dokter spesialis THT.
Tiga salon! Tiga kapster! Tidak satupun yang bisa mengerti perintah yang udah gw ucapkan dengan lantang dan jelas ‘Potong deket telinga aja. Jangan potong atas, depan atau belakangnya. O ya, jangan kependekan’ Pada akhirnya, entah bagaimana mereka tetep motong rambut atas dan belakang gw, atau motong rambut gw beberapa cm lebih pendek dari yang gw mau dan memberikan hasil akhir yang sama: potongan rambut cupu yang bikin gw mengalami bukan saja bad hair day tapi bad hair weeks. Selalu saja gw pulang dari salon dengan mata berkaca-kaca dan belingsatan memikirkan metode paling baik – selain hair extension- untuk mempercepat pertumbuhan rambut.
Gw ga ngerti siapa yang salah. Apakah bekerja di salon mengubah mereka menjadi orang-orang lancang dengan inisiatif kelewatan sampe berani melanggar permintaan klien? Apakah perintah gw kurang jelas dan gw perlu menambahkan ‘Mbak/Mas, tolong pahami nasib saya yang dilahirkan dengan bokap botak di bagian depan, jadi jangan coba-coba potong rambut bagian depan saya’? Atau apakah bekerja seharian di salon dengan kebisingan hair dryer dan bibir-bibir yang bergosip bikin mereka mengalami noise-induced hearing loss? Dokter Tedjo Oedono, Soepomo, Sukartono, Sunarto, Luci, Bambang Udji, dan spesialis THT lainnya di seluruh Jogja, bersatulah! Kita lakukan otoskopi keliling salon ke salon.
Hal yang sama gw alami tiap pagi dalam memesan kopi. Di kopisyop mah gampang, tinggal minta gula ato simple syrup dipisahin. Tapi di warung-warung burjo, kantin-kantin Sarjito, kantin-kantin kampus, dan angkringan gw harus jelasin sejelas-jelasnya: es kopimiks, tanpa gula, airnya dikit, esnya banyak. Gak jarang gw harus awasin mereka bikinin pesenan gw, dan kasih tau kapan mereka harus berhenti tuangin air. Kalo gak hasilnya bisa jadi ga sesuai mau gw, dan berakhir dengan gw buang di tengah jalan [kalo dibungkus] ato cuma diminum sepertiganya [kalo diminum di tempat]. Kalo aja mereka ijinin gw masuk ke dapur mereka dan bikin sendiri...
Para pengunjung, dengar ini. Saya tidak ingin mendengar komentar ‘mungkin kesalahan ada pada rambut dan kepala anda, bukan pada kapster’. Saya perlu rekomendasi salon yang kapsternya gak sok tau dan mau mendengar permintaan klien. Terima kasih sebelumnya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment