Kata Ahmad Albar, dunia ini panggung sandiwara. Duh, gak zaman banget Oom, lha anak Oom aja ga main sandiwara tapi sinetron… Tapi ada benernya juga, secara kadang life turns out to be so movie-like. Kaya beberapa menit yang gw alamin di rumah sakit beberapa minggu lalu. Camera roll.... Action!
That whole week, salah satu bangsal Penyakit Dalam Sardjito geger karena ada pasien dengan luka akibat diabetes di kakinya yang udah berbulan-bulan gak diobatin. Jelas aja, bau busuk menyebar dalam radius 10 meter, padahal pintu kamarnya udah ditutup. Keluarganya mencoba menyamarkan bau dengan kopi dan pengharum ruangan. Tetep aja! Tapi setidaknya mendingan. Awalnya gw sering pake masker kalo periksa dia, tapi lama-lama gw jadi akrab dengan baunya dan masker gw pun terpaksa terdampar tanpa guna di saku jas.
Singkatnya, suatu hari keadaannya memburuk. Pengawasan pun dilakukan makin ketat. Keluarga yang di luar kota berdatangan. Sekitar jam 4 sore, mereka bahkan mengerahkan bala bantuan berupa belasan orang dari kelompok pengajian untuk berdoa bersama. Ruangan yang hanya berukuran 4 x 4 meter pun penuh layaknya bus kota jalur 15 di pagi hari. Tinggal menyewa seseorang untuk jadi kernet.
Beberapa menit kemudian, salah satu dokter minta gw lakuin EKG ama pasiennya. Beres, dok! Apa susahnya buat koas tampan, sehat dan berdedikasi ini… Gw ambil mesin EKG di bangsal sebelah. Begitu nyampe bangsal si pasien, mak.. jalanan macet! [celingak-celinguk mencari si Komo]. Ada kali 40 orang tumplek di koridor bangsal. Permisi Pak, Bu, mas koas yang cakep numpang lewat… Setelah 125 kata ‘permisi’ terucap, nyampe juga gw di depan kamar si pasien dan dicegat suaminya. Alhasil, bukannya masuk dan ngerekam gelombang jantungnya, gw malah ngobrol ama suaminya yang sudah tampak rela melepas kepergiannya. Baru beberapa kali berbalas kalimat, terdengar teriakan 2 perempuan muda dari dalam kamar. Sang suami langsung lari masuk kamar, dan mulai menangis panik bersama anak-anaknya. Ikyuuttt…
Gw masuk sambil menyurukkan dengan paksa mesin EKG, menabraki orang-orang yang menghalangi jalan. [padahal semasa kecil udah puas main boom-boom-car] Tangisan keluarga mulai meningkat volume dan intonasinya menjadi raungan, diikuti makin kerasnya suara rekan-rekan yang berdoa. Gw periksa pasiennya, baru pasang mesin. Tadaa… Udah gak ada lagi sandi rumput yang tercetak di print-out EKG, yang artinya: she’s gone.
Gw minta temen gw panggilin dokter buat nyatain kematiannya sementara gw beresin mesin EKGnya. Si dokter masuk, took a deep breath and said the cruel magic words: ibu sudah gak ada. Teriakan dan doa makin membahana. Akyu tak kuasya… Kabur, kabur, daripada gw, the drama king ini ikutan nangis histeris... Keluar kamar sambil sekali lagi menabraki orang-orang yang menghalangi jalan. Sampai di luar kamar, ealah!, puluhan orang yang membesuk pasien lain ngerumunin kamar si pasien! Pak, Bu, masa iya kami harus pasang billboard bertuliskan ‘pasiennya meninggal, dudul!’ di depan kamar pasien? Ngerti dikit napa? Emang topeng monyet, lu kerubutin?
Baru beberapa langkah, pemandangan digantikan oleh gerombolan ibu-ibu dan mbah-mbah yang saling bertegur sapa sambil bertukar cipika-cipiki. Ow great, cerdas sekali wanita tanah air kita ini, memilih rumah sakit sebagai venue acara reuni.
Langkah kaki gw berlanjut ke bangsal sebelah, melewati koridor rumah sakit dengan bermandikan cahaya matahari-pukul-5-sore yang diteruskan oleh jendela di hadapan gw. Semua yang di depan gw tampak bagai siluet. Ending yang romantis untuk beberapa menit yang mengaduk-aduk emosi.
If only my eyes were cameras, semua yang terekam dalam beberapa menit tadi akan jadi film yang bermakna. Setidaknya buat gw. Well, there are and will be times like this, yang mungkin bakal gw putar kembali rekamannya di otak gw suatu saat nanti. Kalo gitu, life is a video tape, your mind is the giant screen, and your conscience is the movie-goer yang akan memetik pelajaran dari filmnya.
PS: gambar di atas adalah foto sampul bokep berjudul 'The Doc: Ready-to-undress'
No comments:
Post a Comment