Sunday, May 21, 2006

Dim Sum Terakhir


Ini dia, salah satu buku yang membahas masalah rasialisme di Indonesia dengan gaya popular, selain [salah satunya] Ca Bau Kan, yang digunakan Nia Dinata berlatih bikin film.

Gw selalu berharap banyak dari Clara Ng, yang pernah mengguncang dunia kepustakaan Indonesia dengan trilogi Indiana Chornicle-nya. Setelah sedikit kecewa dengan buku sebelumnya, Utukki, yang terlalu berandai-andai-tak-tergapai, akhirnya Clara kembali ke dunia nyata dan menghadirkan: Dim Sum Terakhir. Sekilas judulnya mirip dengan novel Kim Wong Keltner, The Dim Sum of All Things, yang juga bercerita tentang kehidupan warga Cina perantauan di US.

Gaya tulisannya cukup manis, tidak seliar Indiana yang menyala dan penuh hasrat [halah]. Konflik dalam keluarga antara 4 orang kembar disajikan dengan sederhana dan cukup realistis, meskipun gw gak yakin 4 orang kembar bakal bisa seberagam itu karakternya. Yang pasti, selain kebudayaan Cina di Indonesia, di buku ini diulas juga tentang perlakuan buruk yang diterima warga Cina perantauan di Indonesia, khususnya pada masa Soeharto. Mulai dari susahnya urus KTP, paspor [inget iklan A-Mild?—yang bikinnya susah-susah di Thailand], keharusan mempunyai SBKRI padahal dilahirkan dan seumur-umur tinggal di Indonesia, dipanggil dengan julukan-julukan yang melecehkan, hingga dikucilkan.

Gw jadi inget beberapa cerita warga Cina di Indonesia, yang harus repot-repot mempunyai dua nama bahkan mengurus gelar Raden di Keraton supaya makin meng-Indonesia. Yang dilecehkan dengan panggilan-panggilan yang gak enak didengar. Bahkan yang niat baiknya gak bisa diterima masyarakat. Di Sardjito pun, gw mendapati dokter yang dengan sinisnya menista ‘wong-wong Cino’ sepanjang beberapa paragraf. Padahal buat warga Cina perantauan, sebutan ‘Cina’ atau ‘Cino’ [whatever] sama kasarnya dengan sebutan ‘nigger’ ato ‘negro’ bagi Afro-Americans. Ini masih dicela-cela lagi. Padahal ngakunya udah pernah kuliah di Inggris, harusnya kan lebih berpandangan luas. Malu-maluin.

Well overall, buku ini worth-to-read buat membuka wawasan kita. Gw seneng, sekarang warga Cina perantauan di Indonesia lebih bisa memperoleh hak-haknya. Hari Imlek diliburkan. Bisnis bisa makin berkembang. Bahkan salah satu calon wakil walikota Jogja juga WNI keturunan Cina. I think it’s time for us to see no colors and stop discriminating. Katanya Bhinekka Tunggal Ika…

No comments: