Wednesday, November 22, 2006

just had a face-off


Mari kita sama-sama mengutuk Meg Cabot, Sophie Kinsella dan pengarang Chicklit lainnya. Ternyata buku-buku mereka berhasil mem-bule-kan kepala gw. It’s not that I had my hair dyed blonde or brunette, but in sort of things such literatures affect the way I think, and the way I choose to live. Satu lagi, kepala saya jadi seperti bule: gampang nyeri.

Common addictions in westerns are: sex, cigarettes, drugs, alcohol, coffee, and aspirins. ‘Get me an aspirin’ sering muncul dalam teks novel maupun dialog film. Bahkan mereka minum 3 butir sekaligus layaknya saya makan vitamin C IPI. Yang menyebalkan, belakangan gw jadi sering nyeri kepala, dan harus berakrab-akrab dengan aspirin, paracetamol, atau asam mefenamat. Biar makin jos, gw hadiahi kepala gw dengan satu gelas kopi ekstra, yang memang clinically-proven inducing vasoconstriction thus relieving migraine.

Okay. Ternyata tidak hanya berhenti di kepala, saya merasa hidup saya sekarang berubah menjadi salah satu karakter Chicklit. Secara fisik memang sejak dulu saya bisa menjadi inspirasi novelists dalam menciptakan karakter pria sempurna [dududu]. Sekarang, kenyataan bahwa saya punya pen*s tidak menghindarkan saya dari nasib buruk metro-women in the books, disaster loves me!

Udah beberapa minggu ini gw bantuin panitia pelatihan perawat anak dan dokter keluarga. Job description gw cukup lengkap: moderator, laptop-operator, dan tor-tor lainnya though I’m not turning into a predator. Or a velociraptor.

Bencana pertama datang justru di hari pertama gw bantuin pelatihan perawat, di mana di suatu siang gw harus melakukan tugas-tugas ini sendiri. Dari sekian banyak dokter anak, kenapa juga harus dr. Setya Wandita yang berbicara di hari pertama? Padahal nasib gw selalu sial saat berurusan dengannya. Dan kenapa juga dia harus bicara di sesi terakhir, di mana kekuatan gw hanya tinggal sisa-sisa? Gw ngantuk. Dan kantuk gw kali ini termasuk jenis kantuk yang kejam, yang hanya bisa hilang jika gw ditampar oleh seorang atlet Smackdown, atau Shanty datang dengan baju mini membawakan segelas kopi dingin. Karena tidak ada The Rock atau Shanty di sekitar gw, gw ketiduran. Saya, yang duduk sendirian di depan, menghadap hadirin, jatuh tertidur meskipun dr. Setya berulangkali meng-ehem-ehem gw. I messed up. Untunglah hari-hari selanjutnya hingga hari terakhir gw tidak melakukan sesuatu yang bodoh lagi. Tidak, sampai akhirnya gw bantuin pelatihan dokter keluarga.

Bencana kedua datang saat gw ga sendiri. Semua berawal saat Prof. Coco perlu flashdisk buat pindahin file dari laptopnya ke laptop theatre. Dengan murah hati I took mine out from the bag, and handed it to copy to file. What I didn’t remember was the content of my disk. Saat flashdisk gw ditampilin di LCD-projector, barulah gw ingat bahwa isi flashdisk gw termasuk file-file .mp3, foto-foto wisuda yang tersebar begitu saja tanpa folder, juga gambar-gambar yang seharusnya tidak berada dalam flashdisk seorang dokter berusia 23 tahun. Gw hampir jatuh dari kursi karena malu saat tiba-tiba operator yang entah-idiot-entah-sengaja-ngerjain-gw tiba-tiba membuka folder shak icon yang isinya file-file JPEG shak-o-meter!!! Seperti habis menjalani face-off, gw kehilangan muka. Untung dr. Oho menyelamatkan gw dengan, ‘Dimulai saja acaranya’. G pun memulai acaranya dan mengalihkan perhatian peserta dari layar.

Okay, ada tiga hal untuk dilakukan. Satu, mengatur ulang isi flashdisk dalam folder-folder. Dua, berjanji untuk tidak lagi bermurah hati meminjamkan flashdisk, terutama jika akan ditampilkan di proyektor. Tiga, menyembelih si operator, mencincangnya dan mengolahnya menjadi saus spaghetti.

No comments: