Tuesday, October 31, 2006

antara Karawang dan Jogja


Oke. Saya bersyukur bahwa Chairil Anwar telah lama mati, dan mayat-mayat yang tidak bisa teriak 'Merdeka!' dan angkat senjata lagi sudah tidak terhampar di antara Karawang dan Bekasi. Jadi di mobil travel sepanjang perjalanan Jogja-Karawang, i pictured Karawang as a Bandung-like city, secara emang cuma 2 jam-an dari Bandung. Tapi gw lupa pada kenyataan bahwa Karawang lebih bisa disebut Jakarta Coret daripada tetangga Bandung. Kota industri pula. Kenyataan ini ternyata membawa banyak konsekuensi, dan baru beberapa hari ada di Karawang gw sudah bisa memetik beberapa pelajaran dari pohon kehidupan [yaks... ngomong apa gw barusan].

1. Kata Nadine Chandrawinata, Indonesia is a beautiful city, but Karawang eventually is a super-duper-hot city. Sayangnya insting saya untuk membuka baju setiap kali thermometer mencapai 32 derajat Celcius tidak bisa berlaku di sini. Saya sedang bekerja. Yang jelas gw jadi harus sering-sering cuci baju. ‘Ngapain? Pake aja lagi, kan jaganya ganti klinik. Mereka mana tau.’ Well, bukan ide yang bagus jika produksi keringatmu sedikit berlebih dan berbau kurang menyenangkan [baca: bisa mengaliri sungai Nil dan aromanya menewaskan semua lalat dalam radius 4 km]. Atas dasar perikelalatan, gw merelakan tangan gw kering terpapar Rinso daripada bikin pasien mimisan.

2. Nyamuk! Mungkin Rano Karno dan program 3M-nya kurang popular di sini, sehingga penduduk Karawang tidak Melihat, Meraba dan Menerawang eh Membersihkan, Menutup dan Menimbun tempat-tempat penampungan air. Akibatnya: gw harus mencabut nyawa belasan nyamuk sebelum akhirnya bisa tidur pukul 2 dini hari di malam pertama gw di Karawang. Terima kasih kepada souvenirs dari abad 2o berupa obat nyamuk semprot dan repellent, meskipun gw harus berpikir berulangkali untuk menggunakan yang kedua karena tidak mau kulit saya kering, regardless the word ‘moisturizer’ atau ‘vitamin’ written on the label.

3. Kalo memungkinkan, duduklah di depan saat naik angkutan umum: angkot, elf atau apapun. Dan banyak-banyak ngobrol ama supir. Bukan karena angkot drivers are cute, saya punya standar sendiri [gubrak!] Yang jelas tips ini akan menghindarkan kita dari salah jalur angkutan, atau kelewatan tempat tujuan. Gw pernah bikin seorang supir putar balik gara-gara tempat tujuan gw kelewatan, untung waktu itu gw satu-satunya penumpang. O-i-a, jangan sekali-kali nanya ke penumpang. Sama halnya seperti penonton Who Wants To Be A Millionaire, jawaban mereka kadang menyesatkan.

4. Hati-hati dalam memilih makanan. Gw pernah kecewa karena harus bayar 15 ribu untuk sepiring kwetiauw siram yang bisa gw dapatin di mana-mana di Jogja dengan harga separuhnya [lha iyalah, lo makan di food court mall…]. Gw juga pernah was-was saat makan mi ayam seharga 2500 perak karena bertanya-tanya ini beneran mie dan beneran ayam gak ya? Fenomena lain yang bikin gw jijik adalah entah bagaimana teh instant Sisri laku di mana-mana. Bahkan saat gw pesen es teh di Warteg, Teh Sisri jugalah yang gw dapet. Padahal kata yang tepat untuk menjelaskan rasanya adalah: menjijikkan. Sangat artifisial dan pasti tidak baik untuk kesehatan. Parahnya, gw temuin banyak pasien anak yang tidak mau minum air kecuali es teh Sisri. Saya turut berdukacita.

5. Kota ini punya selera musik yang buruk, setidaknya menurut saya. Gw pernah hampir memerlukan suntikan Ondansetron karena menahan muntah di angkot yang memutar lagu-lagu dangdut, house music atau lagu-lagu Malaysia. Bahkan mereka-mereka yang saya anggap berpendidikan [baca: perawat], sama juga. Salah satu perawat cowok cuma bisa nyanyi lagu Ungu dan Naff. Kasihan, mungkin kapasitas penyimpan lagu di otaknya cuma sebatas dua band tadi. Dua perawat cewek lainnya menyukai lagu Diana yang dibawain Ihsan Idol. Padahal buat gw Diana adalah lagu paling hancur dalam 3 album 12 finalis Idol 1-2-3.

6. Gw seharusnya ambil kursus singkat bahasa Sunda sebelum berangkat. Gara-gara logat bahasa Indonesia gw terdengar lebih Jawa bagian barat daripada Jawa bagian tengah, tiap kali gw ngomong ke pasien pasti dijawab dengan serentetan bahasa Sunda yang selalu gw artikan dengan mene-ketehe. Padahal sebenernya ada begitu banyak Sundanese-speaking people di sekitar gw: The Buangs alias Keluarga Buang di Jambusari, bahkan bokap nyokap gw. Kalo aja gw mau luangin waktu buat belajar bahasa Sunda dulu, gw gak bakal repotin perawat dengan 'Teh bantuin dong, gak ngerti artinya nih..'


Okay, okay. Tidak selamanya saya menderita di sini. Beberapa hal yang bisa bawa kebahagiaan buat gw adalah: O Channel dengan program Rekomendasi, Star Daily, the ABCs of Hollywood, dan Crimes of Fashion-nya; JakTV dengan tayangan VH1-nya dan Hardrock FM yang DJ-DJnya laris manis jadi presenter hingga pemaen sinetron. Well, ini post pertama saya dari ratusan mungkin ribuan kilometer dari Jogja. And there are still to come. Just be patient.

No comments: