Sunday, April 13, 2008

From Jogja to Bandung: the Break-up

Breaking up is hard to do. Yes, I have always wanted to get out of Jogja, particularly to Bandung. But no, having to leave Jogja and everything it has, never crossed my mind. Hari-hari terakhir gw di Jogja, tepatnya 2 minggu saat gw resmi jadi Indonesian Idle, gw pake waktu sebisa mungkin buat menggerayangi Jogja. Layaknya Alicia Keys yang minta dicium like you’ll never see her again, gw berkeliaran di Jogja like I’ll never be here again. So….. Agenda pemuasan hasrat sebelum pergi terdiri dari makan-makan, poto-poto, nyanyi-nyanyi, maen-maen, dll. Here goes the detail:

Makan-makan.

Sebenernya bukan sesuatu yang sepesiyal, secara tempat yang gw [dan Penguin] kunjungi bukanlah fancy restaurants yang harga seporsinya setara empat bulan uang jajan anak SD. Kami pergi ke tempat-tempat ‘biasa’, yang mungkin bakal gw kangenin setelah pergi. Warung Tuna Hercules, Warung Manado Dabu-dabu, Kwetiau Lucu di Food Square Moses, Nasi Lawar Sorowajan, Kafe DiDyPi [a little piece of Bandung in Jogja, yang baru gw tahu namanya], dan tentunya Sego Tempong Bu Iin [pastinya dia bakal sering nanyain gw]. Satu tempat terlewat: Red Point, tonggak sejarah mulainya hubungan perpawangan dengan Penguin. Bandung boleh jadi surganya jajanan, tapi mungkin banyak hal yang tak sekedar indah dan tak akan terganti [ee, kok malah dadi lagune Yovie?].

Poto-poto.
Sesi foto berlangsung singkat, padat dan hemat di Digibox Gardena. Penguin dan Pawang mengenakan kaos polo hitam, plus pin mungil Penguin dan Pawang yang dirancang sendiri oleh… perancangnya [baca: gw pastinya!]. Dan selain rambut kami yang secara tragis berbentuk sama gara-gara kapsternya lagi bete, kami temuin lagi satu kesamaan: muka yang tampak capek. Pertanyaan gw tentang ‘Perlukah diciptakan Loreal Men’s Expert Anti Tanda Kelelahan dengan Matthew Fox sebagai endorser?’ terjawab sudah.



Nyanyi-nyanyi.
Biar pita suara Penguin tambah sering dipakai selain buat latihan koor setiap hari, gw ajak dia karaokean. Dua kali, biar mabok sekalian. Sesi pertama berjalan kurang memuaskan di Shelter, Demangan. Tempat karaoke ini punya motto Feels Like Home, dan percayalah, room karaokenya emang mirip ruang tamu. Sofa. Dua mic. TV dan karaoke set. AC yang ramah lingkungan, secara ga dingin blas jadi irit freon. Tanpa peredam suara. Kesimpulannya, jangan pernah datang lagi.
Sesi kedua berlangsung di tempat karaoke yang lebih mirip tempat karaoke, NAV. Sayangnya, banyak lagu-lagu nyang pengen dinyanyiin tapi ga ada. Ditambah lagi, mas-masnya gak kasih tau kalo waktu kami mo abis, so we missed our anthem, Ku Benci Untuk Mencintaimu oleh Rihanna dan Ne-yo.

Maen-maen.
Sesi maen hanya berlangsung beberapa kali. Accidentally nonton Juno di Moviebox, gara-gara ga kebagian tiket Konser Perdana PSM 37 [setelah 4 jam bantuin make-up tanpa dikasih snack, inikah balasan yang layak untuk Penguin?]. Yet, truthfully speaking, I was more into the movie. Acara bermain-main yang lain adalah ke Galeria, Jalan Solo dan Malioboro yang sebenarnya lebih tepat disebut acara berburu barang yang musti dibawa ke Bandung. Oya, sempet ke Solo juga naik Pramex buat kondangan, dan ternyata toilet Solo Grand Mall bisa jadi tempat ganti baju bagi para musafir.

Perpisahan.
Perpisahan berlangsung di berbagai tempat mengingat ‘rumah’ gw juga banyak. Pertama, bincang-bincang selama 15 menit di Kantor, setelah makan siang Paket 1 KFC. Lima belas menit yang cukup menyiksa sebenernya, secara gw ga tega. Kedua, sup Batak. Tiga kilo kaki dan daging B2 dijadiin sup yang sedianya dimakan 10 orang. Apa daya, cuma 5 orang yang mau jauh-jauh ke Jambusari. Alhasil, Pipin dan keluarganya bingung abisin sepanci sup. Weleh. Didol wae.
Ketiga, ama Klinik Siloam. Perpisahan berlangsung dengan cara Thaksin Shinawatra di RM Phuket. Makan malamnya luar biasa, dan malah jadi lebih kaya acara makan-makan daripada perpisahan.
Yang jelas, semuanya bukan soal makan enak dan tidak, tapi soal bagaimana kita harus memadamkan the burning passion [atau bahkan yang cuma anget-anget] secara paksa. Ini yang sukar dilakukan. Makanya, makanan enak mungkin akan membantu. Haha.
Gak ada perpisahan dengan Penguin dan keluarga gw secara khusus, karena pastinya bakal berat. Jadi yang kami lakukan cuma tried to cherish every moment until the D-day.

Jadi, begitulah. Secara resmi gw bertransformasi dari Wong Jogja jadi Urang Bandung. Gw belum tau kapan bakal ke Jogja lagi, dan kapan Penguin akan bersatu kembali dengan Pawangnya. But I think this is the time of my life, and breaking up is my cross to bear. Let’s hope that what lies behind worths the price I pay.

No comments: